Memberantas Korupsi dengan ‘Konsep Falah’

Masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat yang penuh dengan toleransi, saling peduli, cinta sesama, saling tolong menolong, dan lebih mengutamakan kepentingan bersama (social interest) dari pada kepentingan diri sendiri (self interest). Namun kini karakteristik masyarakat kita mulai bergeser, dari yang awalnya bertendensi pada sosial kemasyarakatan, menjadi lebih mengarah pada individualistik. Bahkan, sampai pada titik ekstrem menafikan kemaslahatan bersama demi kepentingan diri sendiri.

Dari sanalah bencana moral terbesar abad ini yaitu korupsi berkembang, pergeseran dari social interest kepada self interst yang berlebihan mengakibatkan berkambangnya ideologi hedonisme yang berlebihan sehingga untuk mendapatkan keuntungan pribadi, manusia rela melakukan hal-hal yang terkadang bertentangan dengan norma agama, norma moral, dan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Di Indonesia penyakit korupsi ini sudah sangat kronis, menjerat semua dimensi kehidupan sosial, mulai dari pemerintahan, lembaga sosial, bahkan lembaga keagamaan, yang jika terus dibiarkan akan dapat merobohkan bangunan negara Indonesia. Oleh sebab itu, perlunya sebuah cara yang dapat memutus mata-rantai perilaku korupsi, sehingga dengan demikian sedikit demi sedikit akan mengurangi dan menghilangkan penyakit sosial ini dari tubuh bangsa Indonesia dan manusia umumnya.

Konsep falah
Kata falah diambil dari akar kata aflaha yang secara bahasa berarti menang, jaya, berhasil, sukses (lawan dari gagal). Adapun Alquran sendiri menyebutkan kata aflaha ini sebanyak 9 kali, 4 kali dalam bentuk madhi, dan 5 kali dalam bentuk mudharri’. Jika merujuk kepada terjemahan kata aflaha maka ditemukan dua makna yaitu kemenangan dan keberuntungan, yang tidak saja bersifat materialistik keduniaan melainkan juga masuk ke dalamnya dimensi akhirat.

Hal ini dapat kita lihat pada firman Allah Swt: “Sesungguhnya beruntunglah (aflaha) orang-orang yang beriman; (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna; dan orang-orang yang menunaikan zakat; dan orang-orang yang menjaga kemaluannya; kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa; Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas; dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya; dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-9)

Allah Swt menjelaskan dengan rinci apa yang dimaksud dengan kata falah dan kriteria orang yang mendapatkan falah yang dimaksud dalam ayat-ayat di atas, adapun orang yang berkriteria mendapatkan falah adalah orang-orang yang khusuk dalam sembahyangnya, orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna, orang yang menunaikan zakat, orang yang menjaga kemaluannya,orang yang menjaga amanat dan janji-janjinya, dan orang-orang yang menjaga sholatnya. Dan falah (kemenangan) yang didapatkan adalah syurga firdaus, sebagai kenikmatan tertinggi bagi orang Islam.

Sementara Qurasy Shihab menafsirkan kata fallah ini berasal dari kata al-falh yang berarti membelah, dari sini petani dinamai al-fallah karna dia mencangkul untuk membelah tanah lalu menanam benih. Benih yang ditanam petani menghasilkan buah yang diharabkannya. Dari sinilah agaknya sehingga memperoleh apa yang diharabkan dinamai falah dan hal tersebut tentu melahirkan kebahagiaan yang juga menjadi salah satu makna falah. Lebih lanjut Qurasy shihab menjelaskan dengan mengutib pendapat Raghib Al-Asfahani mengatakan kebahagian ada dua yakni kebahagian duniawi dan ukhrawi.

Tidak jauh berbeda dengan yang di atas, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) mengartikan falah sebagai keberuntungan jangka panjang, dunia dan akhirat. Sehingga tidak hanya memandang aspek material, namun justru lebih ditekankan pada aspek spiritual. Mereka menambahkan bahwa dalam konteks dunia falah merupakan konsep yang multidimensi. Ia memiliki implikasi pada aspek perilaku individual (mikro) maupun perilaku kolektif (makro). Ini berarti, falah atau konsep falah merupakan tujuan hidup multidimensi, yang tidak hanya terbatas pada kebahagiaan di dunia akan tetapi juga di akhirat.

Manusia modern yang telah terkontaminasi dengan sifat hedonisme seolah tidak terlalu peduli tentang bagaimana mereka memperoleh harta. Yang dipikirkan hanyalah berapa banyak harta atau kesenangan yang dapat diperoleh, segalanya diukur dengan materi sehingga sifat saling tolong-menolong dan rasa keimanan terhadap Sang Pencipta pupus. Dari rentetan demikianlah lahir sifat koruptif sebagai implikasi dari apa yang penulis jelaskan di atas. Orientasinya telah berubah kepada orientasi yang hanya melihat kepuasan semata (satisfaction oriented).

Konsep falah menekankan adanya pertanggungjawaban setiap tindakan yang dilakukan tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat yang diyakini sebagai pertanggung jawaban yang sangat akurat terhadap segal hal yang pernah dilakukan di dunia, baik yang disadari maupun tidak, tanpa bisa membela diri sedikit pun. Sehingga segala sesuatu yang dilakukan di dunia bagi yang meyakini konsepsi falah ini akan memperhitungkan dengan lebih matang segala akibat dari perbuatannya.

Berbeda dengan apa yang ada dalam satisfaction oriented yaitu menjadikan materi keduniaan sebagai ukuran dalam konsep falah dunia menjadi pertimbangan dan akhirat pun menjadi pertimbangan. Sehingga jika dikaitkaan dengan proses mendapatkan harta, yang dilihat tidak hanya berapa banyak yang ia dapatkan tetapi lebih dari itu dari mana dan apa yang didapatkan juga menjadi pertimbangan penting.

Integrasi konsep falah
Ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengintegrasikan konsep falah ini ke dalam sistem birokrasi Indonesia:
Pertama, dengan merombak seluruh pimpinan hirarki jabatan dengan orang-orang yang dapat dipercaya dan ideal menurut Islam, sehingga dengan power yang ada mereka bisa sedikit demi sedikit mengubah sistem koruptif yang sudah mengakar dalam birokrasi Indonesia dan dapat mengajari bawahannya tentang konsepsi falah baik dengan perkataan maupun keteladanan.

Kedua, memberikan pendidikan spiritual yang berkelanjutan untuk memupuk spirit keagamaan dalam setiap diri para pegawai negara. Ini, misalnya bisa dilaksanakan dengan pengajian berkelompok. Upaya ini akan memudahkan kontrol terhadap apa yang ada dalam pikiran dan apa yang dilakukan oleh pegawai, yang dapat dikontrol langsung oleh pimpinan, atau pimpinan kelompok tersebut. Jika ini dilakukan terus menerus, dapat mengantarkan para pegawai kepada peralihan ideologi yang awalnya hedonis menjadi ideologi Islami yang termasuk di dalamnya konsep falah. Semoga!


Sumber:
Teguh Murtazam, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: teguh28@ovi.com
http://aceh.tribunnews.com/2013/12/07/memberantas-korupsi-dengan-konsep-falah

No comments:

Post a Comment