Korupsi Para Fuqaha, Ulil Amri, dan Qadhi

Setiap 9 Desember yang sedianya diperingati sebagai hari anti korupsi, bagi Indonesia sepertinya lebih layak dikatakan sebagai hari korupsi. Betapa tidak, legislator (fuqaha), eksekutif (ulil amri), dan yudikatif (qadhi) yang oleh Montesqiue --dengan ajaran Trias Politica-nya-- beberapa ratus tahun yang lalu digambarkan sebagai kekuatan penyangga sebuah Negara sehingga menjadi kuat karena pemisahan kekuasaan dan dengan pemisahan itu masing-masing menjalankan fungsinya, kini bersama-sama berjamaah untuk melakukan korupsi.

Satu pola korupsi adalah corruption by design, di samping pola lainnya, yaitu corruption by need (terpaksa karena kebutuhan) dan corruption by greed (memaksa karena keserakahan). Pada pola corruption by design dibuat aturan-aturan sehingga melalui aturan itu dilakukan ‘perbuatan keji’ yang dianggap tidak keji lagi karena sudah ada aturannya. Ini antara lain yang dilakukan oleh para fuqaha. Begitu pun ulil amri melalui kebijakan-kebijakan, izin-izin pemerintah yang ‘dibisniskan’. Kemudian qadhi juga terkadang di dalam perkara korupsi membalikkan kata-kata menjadi korupsi perkara; Membagi “perkara basah” dan “perkara kering”.

Korupsi diartikan sebagai perbuatan yang busuk (keji dan munkar). Kiranya tidak ada yang tidak mengetahui bahwa sesuatu perbuatan korupsi tersebut adalah jahat. Jadi, tidak ada alas an sebenarnya kalau seseorang korupsi karena dia tidak tahu bahwa apa yang dilakukan adalah korupsi dengan alas an karena prosedur. Semestinya tidak ada ungkapan “itu tidak salah karena sesuai aturan”. Dewasa ini, yang sesuai aturan juga bisa kurupsi, seperti Corruption by Design tadi.

Korupsi adalah perbuatan melawan hukum, bukan hanya melawan undang-undang. Dalam teori dikenal adanya perbuatan melawan hokum formil dan perbuatan melawan hokum materil. Sedangkan perbuatan melawan hokum materil dibagi lagi menjadi dua, yaitu dalam fungsi yang positif dan negatif. Pada perbuatan melawan hokum materil dalam fungsinya yang positif memang tidak selayaknya dianggap sebagai kejahatan. Contoh perbuatan melawan hukum materil dalam fungsi negative adalah secara peraturan perundang-undangan (aturan formal) sesuatu itu tidak dianggap salah, namun dalam pandangan masyarakat hal tersebut adalah salah. Sedangkan perbuatan melawan hokum materil dalam fungsi positif adalah secara aturan formal itu salah, namun dalam pandangan masyarakat dan logika yang jernih hal tersebut tidak salah.

Laboratorium korupsi
Laboratorium adalah tempat dimana pengkajian sesuatu objek dilakukan dengan menggunakan cara-cara tertentu guna menemukan suatu hal yang baru dan sedianya dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Laboratorium kesehatan umpamanya digunakan untuk meneliti tentang suatu penyakit sehingga penyakit tersebut menjadi jelas. Laboratorium dianggap baik, manakala dianggap lengkap, dan sepertinya untuk korupsi, Indonesia merupakan laboratorium terlengkap. Hampir semua bentuk korupsi terjadi di sini, termasuk juga pelakunya hamper semua kalangan. Entah itu terungkap di pengadilan, maupun terselubung karena tidak terungkap dan tidak dilaporkan atau dilaporkan namun “tidak cukup bukti”. Atau juga yang terungkap hanya kambing hitam.

Semuanya dikorupsi, termasuk sarana ibadah. Pembuatan sarana umum adalah ibadah; Membuat jalan, jembatan, pengadaan alat-alat kesehatan adalah ibadah. Apalagi pengadaan sarana pendidikan, kitab suci, pembangunan mushalla, bea siswa, tentu semua mengetahuinya bahwa ini merupakan ibadah. Sebagai masyarakat yang agamis, semestinya peruntukan untuk sarana umum ini dibantu agar lebih baik, bukan malah mengambil bagian dan kesempatan dalam pekerjaan itu. Bahkan semua kekuatan tadi ikut berperan di dalam mengambil bagian.

Para legislator (fuqaha) yang diharapkan berdiri di depan untuk pemberantasan korupsi, ternyata lebih berani untuk melakukan korupsi. Beberapa waktu yang lalu pernah terdengar celoteh-an dalam bahasa Aceh bahwa di parlemen ada dua mazhab, yaitu “mazhab fi” dan “mazhab hana fi”. Terbukti memang, berapa banyak anggota parlemen kita yang terjerat kasus korupsi, belum lagi yang sedang dibidik. Begitu juga dengan ulil amri, beberapa kepala daerah yang terlibat. Juga qadhi yang belakangan semua mata terbelalak melihat berita di media massa tentang adanya “wakil Tuhan” itu yang melakukan korupsi. Jadi sempurna sudah dan lengkap sudah Indonesia sebagai laboratorium korupsi.

Korupsi merupakan penyakit masyarakat. Penyakit yang diturunkan biasanya bisa merupakan cobaan dan bisa juga sebagai hukuman. Sepertinya bagi bangsa Indonesia, hal ini merupakan hukuman atau azab, yang diturunkan, sebagai janji Tuhan, karena tidak tau bersyukur atau berterima kasih. Kalau tidak tau berterima kasih, maka ketahuilah bahwa azab itu akan digandakan lagi. Indonesia yang kaya akan laut dan pantai terpanjang di dunia, akan tetapi tidak dimanfaatkan, justru membuat jalan mulus di pinggir pantai sebagaimana halnya di Eropa daratan. Bagi mereka di Eropa daratan, membuat jalan begitu bagus, karena tidak ada cara lain untuk sarana transportasi.

Berapa banyak dana yang dikucurkan untuk membuat jalan, dan berapa untuk perawatannya, sementara pembuatan jalan itu disesuaikan dengan asas pembangunan yang ‘berkelanjutan’, sehingga tidak pernah selesai. Betapa tidak, karena jalan yang dibuat tidak sesuai dengan tonase kenderaan yang melintasinya. Seandainya kita mensyukuri laut, sebenarnya bahan-bahan kebutuhan yang berat dapat diangkut melalui laut dengan sarana pembangunan yang relative kecil (namun kecil juga kalau mau dikorup) dan perawatan yang juga kecil. Yang dibutuhkan hanya sarana pelabuhan. Kemudian, angkutan darat yang tonasenya lebih ringan dapat melanjutkannya ke tempat-tempat yang memang berjauhan dengan pantai.

Kesalahan mendidik
Sekali lagi hukuman. Hukuman karena kesalahan mendidik rakyat. Dalam keyakinan kita dikatakan bahwa “tangan yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah”; Masyarakat telah dididik dengan pendidikan yang salah. Diberikan bibit, pupuk dan sebagainya. Padahal, udang, misalnya, pernah menjadi primadona (khususnya di Aceh) sebelum adanya pembagian benur oleh pemerintah. Aceh senantiasa mengumandangkan lantunan ayat-ayat suci di Meunasah sebelum adanya pengadaan Alquran oleh pemerintah. Sekarang setelah adanya pengadaan oleh pemerintah, memang masih terdengar lantunan ayat suci, namun lebih banyak rekaman, bukan pengajian sebagaimana halnya dulu.

Tidak mensyukuri anugerah yang diberikan. Ironis sekali; Negara Indonesia yang dianggap sebagai Negara agraris, namun kedele diimpor, dan inilah yang menyebabkan Negara ini menjadi sangat rapuh, yaitu hanya karena kedele menjadi goyang. Lebih dari itu Negara kita menjadi ketergantungan dan karena ketergantungan itu Negara kita kehilangan wibawa di depan Negara-negara lain. Malaysia, umpamanya, memandang sebelah mata karena banyak sekali warga kita di sana. Australia juga begitu, karena menganggap bahwa kalau mereka tidak ada, kita tidak dapatkan impor daging.

Mengakhiri tulisan ini, hanya dapat diberikan solusi umum, yaitu berikan amanah kepada ahlinya dan syukuri nikmat yang diberikan. Wallahua’lam. Selamat hari korupsi, eh Hari Anti Korupsi!


Sumber:
Dr. Mohd. Din, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum, dan Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh.  Email: drmohddin@gmail.com
http://aceh.tribunnews.com/2013/12/09/korupsi-para-fuqaha-ulil-amri-dan-qadhi

No comments:

Post a Comment