Agus Condro Prayitno, mengaku mendapat imbalan Rp 500 juta agar memilih Miranda Goeltom

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Agus Condro Prayitno, mengaku mendapat imbalan Rp 500 juta agar memilih Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Adik Miranda, Jonggi Goeltom, disebut-sebut turut berperan.

LANTAI 10 gedung Nusantara I di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta, kini sudah berganti pemilik. Pada 1999-2004, seluruh ruangan di lantai itu adalah kantor politikus Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sekarang, setelah Pemilu 2004, si empunya lantai adalah Fraksi Partai Demokrat. Tak mengherankan jika Agus Condro Prayitno, anggota parlemen dua periode dari fraksi Banteng, jadi pangling. ”Wah, sudah berubah semua,” katanya.

Bersama Tempo, Jumat pekan lalu, Agus, 47 tahun, mampir ke lantai itu untuk menunjukkan posisi ruang kerja koleganya, sesama anggota parlemen dari Fraksi PDIP, Emir Moeis. ”Dulu ruangan dia di sini,” katanya mengingat-ingat pertemuan penting empat tahun silam.

Pada Juni 2004, Agus bercerita, dia pernah dipanggil ke ruangan Emir di lantai 10, bersama empat politikus PDIP lain. Mereka adalah Budiningsih, Muhamad Iqbal, Matheus Formes, dan Wiliam Tutuari­ma. Ketika itu Emir adalah Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Komisi Keuangan dan Perbankan—posisi yang membuatnya menjadi ”kepala suku” politikus Banteng di komisi yang dikenal ”basah” itu. Di dalam ­ruang kerja Emir, sudah ada Dudhie Makmun Murod, anggota parlemen dari PDIP yang dikenal dekat dengan lingkaran elite partai.

Setelah semua lengkap hadir, Dudhie membuka laci meja Emir dan mengambil sejumlah amplop putih. Satu-satu, semua peserta pertemuan mendapat amplop. ”Di dalamnya ada 10 lembar cek perjalanan Rp 500 juta,” kata Agus. Dia ingat betul, cek itu diterbitkan Bank Internasional Indonesia.

Tak ada penjelasan apa pun, baik dari Emir maupun Dudhie, tentang pembagian fulus itu. Tapi para peserta pertemuan tampaknya sudah mafhum. Dua pekan sebelumnya, mereka baru saja mengegolkan Miranda Swaray Goeltom menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, lewat pemungutan suara. Agus yakin, fulus yang dibagikan hari itu berasal dari kubu pendukung Miranda Goeltom.

Pengakuan menghebohkan ini pertama kali disampaikan Agus Condro di depan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, dua bulan lalu. Dia dipanggil komisi untuk bersaksi dalam skandal aliran dana Bank Indonesia ke parlemen pada 2003. Tiga pejabat bank sentral—Burhanuddin Abdullah, Rusli Siman­djuntak, dan Oey Hoey Tiong—didakwa menyuap anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan untuk memuluskan pembahasan skema penyelesaian beban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan rancangan amendemen Undang-Undang Bank Indonesia. Total duit yang mengalir ke Senayan Rp 31,5 miliar. Nama Agus Condro masuk daftar mereka yang kecipratan duit panas itu.

Alih-alih mengaku menerima sebagian duit itu, politikus kawakan dari Batang, Jawa Tengah, ini malah menyodorkan kesaksian lain. Dia mengaku menerima uang dari salah satu kubu kandidat Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Pengakuannya itu membongkar praktek jual-beli dukungan dalam seleksi pejabat publik di legislatif. ”Saya sendiri siap dihukum,” kata Agus.

Emir dan Dudhie membantah semua pernyataan Agus. Emir bahkan mengaku, ruang kerjanya empat tahun lalu tak akan muat menampung tujuh orang. ”Jangan lihat ruangan saya yang sekarang. Dulu ruang kerja saya kecil,” katanya Rabu pekan lalu.

Adapun Dudhie memilih diam. Seharian dikejar Tempo di rumahnya di Pondok Labu, Jakarta Selatan; dan di kantor PDIP di Lenteng Agung, Dudhie mengunci mulut. ”Saya tidak mau berkomentar soal ini,” katanya pendek.

INDIKASI adanya permainan uang dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004 sebenarnya sudah tercium sejak awal. Menjelang hari pemilihan, informasi berseliweran tentang gencarnya lobi politik dan bagi-bagi fulus pendukung calon. Meski isunya santer terdengar di mana-mana, saat itu tak ada satu pun bukti kuat yang bisa mendukung dugaan itu.

Kala itu, yang bersaing ketat dalam bursa calon pengganti Anwar Nasution adalah eks Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom dan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Tokyo, Jepang, S. Budi Rochadi. Calon ketiga, Deputi Gubernur bank sentral, Hartadi Sarwono, tak terlampau diperhitungkan. Dua kandidat unggulan inilah yang saling adu kuat menarik dukungan dari parlemen.

Beberapa hari menjelang hari H pemilihan empat tahun lalu, sebuah pesan pendek masuk ke telepon reporter Tempo. ”Di Hilton 1301 sedang terjadi mo­ney politics untuk DGS BI (Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia—Red.), agar mendukung satu calon tertentu,” demikian bunyi pesan itu. Pengirim pesan adalah pimpinan Komisi Ke­uangan Dewan Perwakilan Rakyat. Dia menuduh pertemuan di Hotel Hilton adalah bagian dari gerilya calon Deputi Gubernur Senior dalam mencari dukungan.

Mantan Ketua Kelompok Fraksi Reformasi di Komisi Keuangan, Hakam Naja, mengakui gencarnya pendekat­an dari tim sukses calon Deputi Gubernur Senior. Hakam bahkan mengaku pernah didekati seseorang yang mengaku sebagai utusan salah satu kandidat. ”Saya tidak kenal orangnya, tapi dia mengaku sebagai utusan Miranda,” kata politikus Partai Amanat Nasional ini pekan lalu. Hakam mengaku tak melayani desakan sang tamu.

Merasa tak mempan dengan umpan bujuk rayu, utusan itu lalu memasang jurus lain. Terang-terangan dia menawarkan suap Rp 500 juta sebagai imbal­an atas suara Hakam. Tawaran itu dia tolak mentah-mentah.

Soenmandjaja, politikus Fraksi PKS yang aktif di Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat periode lalu, memberikan kesaksian senada. ”Mendekati hari pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, selalu ada orang yang mendekati saya, bertanya bagaimana pandangan saya tentang para kandidat dan bagaimana nanti kecenderungan hasil voting,” katanya mengenang. Utusan para kandidat ini, menurut dia, tak selalu orang yang sama. ”Secara bergantian, mereka mencegat saya di lift, di ruang kerja, di mana saja,” kata Soenmandjaja—kini kandidat Bupati Bogor.

Sumber Tempo di legislatif berbisik bahwa salah satu ”utusan” yang dimaksud para anggota Dewan itu adalah adik kandung Miranda, Jonggi Goeltom. Pria paruh baya yang juga pengu­saha swasta ini dikenal dekat dengan ling­­karan petinggi partai politik. Kema­hirannya bermain golf membuatnya bisa bergaul erat dengan anggota ­parlemen.

Sumber Tempo lain memastikan, anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan yang menerima jatah ”uang terima kasih” Rp 500 juta bukan hanya Agus Condro seorang. Taruhlah 41 anggota parlemen yang memilih Miranda dalam pemilihan itu menerima dana itu, sedikitnya dibutuhkan Rp 20,5 miliar untuk memuluskan terpilihnya sang deputi.

Pemilihan pejabat Dewan Gubernur pekat beraroma bisnis. Keuntungan ­finansial menggiurkan menanti siapa pun yang bisa memiliki ”kaki tangan” di bank sentral. Kebijakan Bank Indonesia tentang tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia, misalnya, bisa menambah atau mengurangi margin keuntungan bank yang menyimpan dananya dalam bentuk surat berharga itu.

”Sebagai regulator, Bank Indonesia amat berkuasa,” kata satu sumber Tempo. Karena itu, tak akan sulit mencari pemilik bank yang bersedia menjadi sponsor pencalonan pejabat bank sentral. Sumber Tempo lain memastikan setiap pencalonan pejabat Dewan Gubernur Bank Indonesia tak pernah lepas dari gelontoran duit para cukong ini. Cek perjalanan Rp 500 juta yang diterima Agus Condro pun ditengarai berasal dari salah satu pengusaha perbankan yang bersedia mendanai pencalonan Miranda.

Sayangnya, Jonggi Goeltom menolak di­wawancarai. Melalui seorang kawan dekatnya, dia hanya menitipkan pesan: membantah terlibat dalam urus­an penca­lonan kakak perempuannya menjadi Deputi Gubernur Senior. Dita­nya terpisah soal peran sang adik, Miranda hanya menjawab pendek, ”Tidak ada itu.”

Semua borok pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia terkuak le­bar oleh pengakuan Agus Condro. Sekarang bola ada di tangan Komisi Pembe­rantasan Korupsi. Namun tampaknya publik masih harus bersabar. Akhir pekan lalu, Ketua Komisi Antasari Azhar mengaku masih mempelajari apa latar belakang munculnya pengakuan Agus Condro. ”Telaah pengakuan ini merupakan bentuk profesionalisme kerja KPK,” kata Antasari.

Seorang sumber Tempo yang dekat dengan Miranda menduga munculnya kisruh ini berkaitan erat dengan habisnya masa jabatan Deputi Gubernur Senior pada pertengahan tahun depan. ”Ada yang ingin mengganjal dia supaya tidak dicalonkan lagi,” katanya. Sumber masalahnya pun, kata dia, tak jauh-jauh: dari kalangan dalam bank sentral sendiri.

Mungkin karena itu, meski diserang gencar sepanjang pekan lalu, Miranda tetap tenang. Ketika ditemui akhir pekan lalu, wajahnya sama sekali tak menunjukkan emosi berlebihan. ”Saya tidak tahu-menahu,” katanya ringan.


Sumber: Tempo, 25 Agustus 2008

No comments:

Post a Comment