Ginandjar pun (Lagi-lagi) Lolos

Dengan alasan kedaluwarsa, Kejaksaan Agung menyatakan tak bisa melanjutkan penyidikan kasus Balongan. Ginandjar Kartasasmita pun lolos dari jerat hukum. Padahal mantan Menteri Pertambangan dan Energi ini disebut-sebut ikut bertanggung jawab atas proyek yang diduga merugikan negara US$ 200 juta itu. Pembentukan tim koneksitas untuk memeriksa Ginandjar, pensiunan marsekal, yang tak kunjung terwujud dianggap menjadi biang sengkarut.

KABAR bahagia itu datang untuk Ginandjar Kartasasmita dari Gedung Bundar. Penyampainya: Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy. Kepada wartawan, Marwan menyatakan kasus dugaan korupsi proyek Export Oriented Refinery (Exor) I Pertamina Balongan tak bisa diteruskan. ”Karena sudah kedaluwarsa,” kata jaksa yang baru lima bulan duduk di Gedung Bundar itu.

Ginandjar, yang kini menjabat Ketua Dewan Perwakilan Daerah, adalah salah satu ”tokoh” yang sebelumnya dianggap paling bertanggung jawab atas kasus ini. Saat kasus ini terjadi, sekitar akhir 1980, Ginandjar menjabat Menteri Pertambangan dan Energi, sekaligus sebagai Ketua Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina. Karena posisinya itulah, kejaksaan menganggap pria 67 tahun yang berpangkat terakhir marsekal madya ini mengetahui kasus yang membuat negara rugi hampir US$ 200 juta.

Lantaran anggota TNI, kejaksaan lantas berkirim surat ke Markas Besar TNI. Kejaksaan meminta dibentuknya tim koneksitas untuk memeriksa Ginandjar. Surat itu dikirim Kejaksaan Agung pada Januari 2007. Permintaan itu rupanya tak berjawab.

Nah, lantaran tak ada jawaban itulah, perkara ini pun ”dimakan waktu”. Menurut Marwan, sesuai dengan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, masa kedaluwarsa kasus yang diancam hukuman pidana tiga tahun atau lebih adalah 12 tahun. Jika ancaman hukumannya pidana seumur hidup atau mati, kedaluwarsanya 20 tahun. ”Kasus Ginandjar di Balongan itu tidak termasuk pidana seumur hidup atau hukuman mati,” kata Marwan. Menurut dia, jikapun kasus itu tindak pidana dengan tuntutan hukuman mati, juga sudah kedaluwarsa. ”Berarti sudah 20 tahun, sudah habis,” ujar Marwan kepada Tempo, Senin pekan lalu, di ruang kerjanya.

Berhentinya perkara ini tak pelak mengejutkan John Waliry, pengacara Tabrani Ismail, mantan Direktur Pengolahan Pertamina. Dengan demikian, hanya Tabrani satu-satunya yang menanggung ”dosa” skandal korupsi Balongan ini. Tabrani, 70 tahun, kini meringkuk di penjara Cipinang, Jakarta Timur. ”Jika Ginandjar lolos, ini tidak adil,” kata pengacara yang juga bekas jaksa itu.


Kasus korupsi Balongan ini bermula pada 1988 ketika pemerintah berencana membangun kilang minyak di Kecamatan Balongan, Indramayu, Jawa Barat. Kilang anyar tersebut diharapkan bisa mendongkrak pendapatan Pertamina. Pendanaan proyek ini tidak memakai anggaran pemerintah (non-recourse financing), tapi dibiayai seluruhnya dari hasil kilang.

Untuk merealisasi proyek ini, dibentuk tim. Tabrani Ismail ditunjuk sebagai ketua tim negosiasi. Tim inilah yang melakukan tawar-menawar harga dengan konsorsium yang antara lain terdiri atas Foster Wheeler, Mitsui, dan Japan Gasoline Corp. Nilai proyek ini sekitar US$ 2 miliar. Kerja tim ini dilaporkan kepada Dewan Komisaris yang diketuai Ginandjar.

Belakangan, terungkap proyek ini sarat ”penggelembungan”. Nilai proyek itu diperkirakan tak lebih dari US$ 1,6 miliar. Pembengkakan itu terjadi karena masuknya banyak biaya konsultasi dan juga pembelian tangki baru. Proyek itu ternyata juga jauh dari untung seperti yang digembar-gemborkan. Sejak diresmikan Mei 1995 hingga 1999, proyek ini merugi tak kurang dari US$ 35 juta. Bahkan, pada awal beroperasinya, Balongan mesti ”turun mesin” berkali-kali lantaran kerap ngadat.

Kasus Balongan ini pun pada 2001 masuk Kejaksaan Agung. Sejumlah petinggi Pertamina, termasuk Tabrani Ismail dan Direktur Utama Pertamina saat itu, Faisal Abda’oe, diperiksa. Menurut kejaksaan, terjadi markup pada proyek ini, sehingga negara rugi sekitar US$ 200 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun.

Belakangan, yang diajukan ke pengadilan ternyata hanya Tabrani. Jaksa mendakwa Tabrani melakukan korupsi dan menuntut Tabrani 12 tahun penjara. ”Padahal bukan dia yang menetapkan harga,” ujar John. Menurut John, keputusan tentang harga proyek itu ditentukan tim yang diketuai Ginandjar. ”Sebab, sesuai dengan aturan di Pertamina, kewenangan direktur itu hanya untuk proyek yang nilainya di bawah Rp 1 miliar,” kata John lagi.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang menyidangkan kasus ini, ternyata juga menyatakan Tabrani tidak bersalah. Pada 2003 pengadilan memvonis bebas Tabrani. Jaksa mengajukan kasasi. Hasilnya, April 2006 majelis kasasi yang diketuai Bagir Manan ”menganulir” putusan pengadilan negeri. Tabrani divonis enam tahun penjara. Ia juga harus membayar ganti rugi US$ 190 juta. Tapi, sebelum dieksekusi, Tabrani kabur. Ia baru tertangkap setahun kemudian oleh tim pemburu korupsi Kejaksaan Agung, yang kemudian mengirimnya ke penjara Cipinang.



Di penjara, sebuah tim kejaksaan mengorek kembali ”kasus Balongan” ini dari mulut Tabrani. Di sinilah, menurut sumber Tempo, terungkap peran Ginandjar. Lantaran saat peristiwa itu terjadi, Ginandjar berstatus perwira aktif, untuk memeriksa Ginandjar, harus dibentuk sebuah tim koneksitas. Pada Juli 2007 Jaksa Agung Hendarman Supandji pun mengirim surat kepada Panglima TNI untuk meminta pembentukan tim tersebut.

Keterlibatan Ginandjar dibenarkan seorang jaksa yang pernah ”memegang” kasus Balongan ini. Sebagai Ketua Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina, peran Ginandjar sangat menentukan, termasuk dalam penentuan nilai proyek. ”Sulit jika disebut dia tidak bertanggung jawab,” ujar jaksa tersebut.

Ginandjar sebenarnya pernah diperiksa kejaksaan. Pemeriksaan itu terjadi pada 11 Juli 2002. Tapi, kepada tim jaksa yang membombardirnya dengan 34 pertanyaan, Ginandjar menyatakan ia tidak melakukan intervensi apa pun pada proyek Balongan. ”Saya tidak terlibat langsung dalam perencanaan Exor I Balongan, karena waktu diangkat jadi Menteri Pertambangan dan Energi, proyek itu telah diputuskan pemerintah,” kata Ginandjar.

Salah seorang jaksa yang memeriksa Ginandjar, Sarjono Turin, menyatakan saat itu Ginandjar diperiksa sebagai saksi. ”Jika akan diperiksa lagi dengan minta izin ke Markas Besar TNI, mungkin itu berkaitan dengan vonis Mahkamah Agung yang menyatakan Tabrani bersalah,” ujar Sarjono, yang kini menjadi jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ditemui Kamis pekan lalu di kantornya di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur, Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Marsekal Muda TNI Sagom Tamboen menyatakan pihaknya memang menerima surat permintaan izin pemeriksaan Ginandjar dari Kejaksaan Agung. ”Dalam surat itu, status Ginandjar adalah tersangka,” ujar Sagom. Hanya, menurut dia, dari hasil telaah Badan Pembinaan Hukum TNI disimpulkan, Ginandjar tidak terlibat kasus Balongan. Dengan dasar itulah, kata Sagom, pembentukan tim koneksitas yang diminta kejaksaan tidak diperlukan. Sagom yakin soal ini sudah disampaikan Markas Besar TNI ke Kejaksaan Agung. ”Jika tidak, kejaksaan pasti akan mengirim surat kembali.”

Menurut Sarjono, jika benar kasus ini kedaluwarsa, berarti tidak ada lagi alasan memperkarakan Ginandjar. Artinya, tak ada celah apa pun untuk memeriksa Ginandjar. ”Secara hukum tidak bisa lagi,” ujarnya.

Pendapat berbeda dilontarkan pakar pidana Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita. Menurut Romli, kasus Balongan yang menjerat Ginandjar itu belum kedaluwarsa. ”Kedaluwarsa itu dihitung dari penuntutan,” ujarnya. Menurut Romli, karena putusan terhadap Tabrani sudah bersifat tetap, putusan itu jelas bisa dipakai untuk memeriksa Ginandjar. ”Karena Tabrani itu didakwa melakukan korupsi bersama-sama.” Romli menegaskan, jika kejaksaan tetap ngotot menyatakan kasus ini kedaluwarsa, Komisi Pemberantasan Korupsi harus mengambil alih kasus ini. ”Ini kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Romli.

Sementara itu, Ginandjar tampaknya tak mau lagi ”diingatkan” perihal kasus Balongan tersebut. Ditemui wartawan Tempo, Alwan Ridha Ramdani, setelah memberikan ceramah di Universitas Parahyangan, Bandung, Kamis pekan lalu, ia menutup mulutnya rapat-rapat. Dikejar hingga ke tempat parkir mobilnya, ia tetap tak menjawab satu pun pertanyaan yang berkaitan dengan kasus Balongan. ”Jangan bicarakan itu,” ujarnya sesaat sebelum naik mobil. Dan, wuss, Ginandjar pun melesat pergi.

Sumber : Seputar Indonesia, 18 Agustus 2008

No comments:

Post a Comment