Daftar Pengacara (Advokat) yang tersandung Kasus Korupsi

Daftar Pengacara (Advokat) yang tersandung Kasus Korupsi
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch sejak 2005 hingga 2015, ada sepuluh advokat yang tersandung tindak pidana korupsi. Dalam rilis yang diterima Tempo, Selasa 15 Juli 2015, sepuluh nama tersebut adalah:

1. Tengku Syaifuddin Popon
Tengku Syaifuddin Popon terlibat kasus suap pengadilan tinggi tipikor sebesar Rp 250 juta. Saat itu, ia menangani kasus korupsi yang melibatkan nama Abdullah Puteh. Ia divonis pengadilan tinggi tipikor pidana 2 tahun 8 bulan.

2. Harini Wijoso
Harini Wijoso terlibat kasus suap pegawai Mahkamah Agung dan hakim agung sebesar Rp 5 miliar. Saat itu, ia menjadi pengacara Probosutedjo dalam kasus korupsi Hutan Tanaman Industri. Harini divonis tiga tahun penjara dan denda Rp 150 juta.

3. Manatap Ambarita
Manatap Ambarita dianggap menghalang-halangi proses pemeriksaan yang dilakukan oleh kejaksaan terhadap tersangka korupsi penyalahgunaan anggaran tahun 2005 Dinas Kimpraswil Kabupaten Kepulauan Mentawai, Afner Ambarita. Pengadilan Negeri Padang menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara. Pada 2010, MA memvonis 3 tahun penjara. Pada 2012, ia masuk dalam daftar pencarian orang dan dinyatakan buron oleh kejaksaan negeri Mentawai. Namun, tidak diketahui proses selanjutnya.

4. Lambertus Palang Ama
Lambertus Palang Ama dianggap terlibat dalam kasus Gayus Tambunan. Ia terbukti merekayasa asal-usul uang Rp 28 miliar milik Gayus. Atas perbuatannya, ia divonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta oleh PN Jakarta Selatan.

5. Adner Sirait
Adner Sirait terlibat dalam kasus suap hakim Ibrahim, hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta dalam perkara sengketa tanah seluas 9,9 hektar di Cengkareng, Jakarta Barat melawan pemerintah DKI Jakarta. Ia divonis penjara 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 150 juta oleh pengadilan tipikor.

6. Haposan Hutagalung
Haposan Hutagalung terlibat dalam mafia kasus Gayus Tambunan. Ia juga dituduh menyuap pejabat di Bareskrim Polri. Atas perbuatannya ia divonis pidana penjara 12 tahun ditambah denda Rp 500 juta oleh MA.

7. Mario C Bernard
Mario terlibat suap pegawai MA Djody Supratman. Ia ditangkap tangan oleh KPK pada saat menyerahkan uang senilai Rp 20 juta tersebut. Atas perbuatannya, ia divonis penjara empat tahun dan denda Rp 200 juta.

8. Susi Tur Andayani
Susi terlibat sebagai perantara suap mantan Ketua MK M. Akil Mochtar dalam sengketa pilkada. Pada awalnya, ia divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim pengadilan tipikor Jakarta dan pengadilan tinggi DKI. Namun, saat kasasi, ia justru divonis 7 tahun penjara.

9. M. Yagari Bhastara Guntur
Pengacara yang sering dipanggil Gerry ini terlibat kasus suap hakim dan panitera PTUN Medan. Ia ditangkap tangan KPK dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Hingga saat ini, kasus yang melibatkan Gerry ini masih dalam proses penyidikan dan ditahan.

10. OC Kaligis
OC Kaligis terlibat dalam suap kepada hakim dan panitera PTUN Medan. Sama seperti Gerry, ia telah ditetapkan sebagai tersangka. Hingga saat ini, ia masih menjalani proses penyidikan.

Sumber: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/15/063684236/para-pengacara-ini-tersandung-kasus-korupsi; diakses tanggal 15 Juli 2015

Kasus DED PLTA Papua, KPK Tetapkan Tiga Tersangka

Jakarta, 05 Agustus 2014. Dalam pengembangan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan Detail Engineering Design (DED) PLTA Sungai Memberamo dan Sungai Umuruka tahun 2009 dan 2010 di Provinsi Papua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan minimal dua bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan status kasus tersebut ke penyidikan. Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga tersangka, yakni Barnabas Suebu (Gubernur Papua periode 2006-2011), Jannes Johan Karubaba (Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua periode 2008-2011) dan Lamusi Didi (Swasta).

Ketiga tersangka diduga melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam proyek senilai lebih dari 56 miliar rupiah tersebut. Akibatnya, berdasarkan hitungan sementara, negara diduga mengalami kerugian senilai lebih dari 36 miliar rupiah.

Atas perbuatannya, ketiganya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

--- --- --- ---
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Johan Budi SP
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. HR. Rasuna Said Kav C-1
Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
www.kpk.go.id | Twitter: @KPK_RI

KPK Tahan Mantan Hakim Pasti Serefina Sinaga

Jakarta, 8 Agustus 2014. Untuk kepentingan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi menerima hadiah atau janji terkait dengan penanganan perkara banding tindak pidana korupsi penyimpangan dana bantuan social pemerintah Kota Bandung TA 2009 - 2010, pada hari ini (8/8) penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan upaya hukum penahanan terhadap tersangka Pasti Serefina Sinaga (Mantan Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Jawa Barat). Penahanan dilakukan untuk 20 hari ke depan terhitung mulai hari ini di Rumah Tahanan Negara Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Sebelumnya, KPK telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan Pasti Serefina Sinaga sebagai tersangka. Pasti Serefina Sinaga selaku Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Jawa Barat diduga bersama-sama melakukan atau menyuruh melakukan atau turut serta melakukan terkait perbuatan Setya Budi Tejo Cahyono menerima pemberian atau janji terkait dengan penanganan perkara banding tindak pidana korupsi mengenai penyimpangan dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2009 - 2010 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat dengan terdakwa Rochman selaku mantan Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah Kota Bandung dan kawan-kawan.

Atas perbuatannya, Pasti Serefina Sinaga disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf c, atau Pasal 6 ayat (2), atau Pasal 5 ayat (2), atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.

--- --- --- ---
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Johan Budi SP
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. HR. Rasuna Said Kav C-1
Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
www.kpk.go.id | Twitter: @KPK_RI

Mahfud Suroso Tersangka Kasus Hambalang

Jakarta, 8 Agustus 2014. Untuk kepentingan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terkait proyek pembangunan/pengadaan/peningkatan sarana dan prasarana Pusat Pendidikan dan Sekolah Olah Raga (P3SON) di Hambalang Tahun Anggaran 2010-2012, pada hari ini (8/8) penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan upaya hukum penahanan terhadap tersangka Mahfud Suroso (Direktur Utama PT DCL). Penahanan dilakukan untuk 20 hari ke depan terhitung mulai hari ini di Rumah Tahanan Negara Polres Metro Jakarta Selatan.

Sebelumnya, KPK telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan Mahfud Suroso sebagai tersangka. Mahfud Suroso selaku Direktur Utama PT. DCL diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Melalui perusahaannya, Mahfud Suroso diduga mendapatkan pekerjaan mekanikal elektrikal terkait pembangunan/pengadaan/peningkatan sarana dan prasarana olah raga di Hambalang Tahun Anggaran 2010-2012 yang di-subkontrakkan oleh KSO Adhi Wika. Akibatnya, negara diduga mengalami kerugian sekitar 463,67 miliar rupiah.

Atas perbuatannya, Mahfud Suroso disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

--- --- --- ---
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Johan Budi SP
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. HR. Rasuna Said Kav C-1
Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
www.kpk.go.id | Twitter: @KPK_RI

Kasus Alkes Tangsel, KPK Tahan Tersangka MJ

Jakarta, 15 Agustus 2014. Untuk kepentingan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan alat kesehatan kedokteran umum Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun anggaran 2012, pada hari ini (15/8) penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan upaya hukum penahanan terhadap tersangka Mamak Jamaksari (PPK Dinas Kesehatan Tangerang Selatan). Penahanan dilakukan untuk 20 hari ke depan terhitung mulai hari ini di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK.

Sebelumnya, KPK telah menetapkan Mamak Jamaksari sebagai tersangka. Mamak Jamaksari selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Dinas Kesehatan Tangerang Selatan diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi terkait pengadaan alat kesehatan kedokteran umum Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun anggaran 2012. Dalam proyek pengadaan alat kesehatan tersebut diduga terjadi penggelembungan harga yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sekurangnya 14,5 miliar rupiah.

Atas perbuatannya, Mamak Jamaksari disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

--- --- --- ---
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Johan Budi SP
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. HR. Rasuna Said Kav C-1
Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
www.kpk.go.id | Twitter: @KPK_RI

KPK Tahan Mantan Hakim Ad Hoc Tipikor PN Bandung

Jakarta, 14 Agustus 2014. Untuk kepentingan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi menerima hadiah atau janji terkait dengan penanganan perkara banding tindak pidana korupsi penyimpangan dana bantuan social pemerintah Kota Bandung TA 2009 - 2010, pada hari ini (14/8) penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tersangka  Ramlan Comel (Mantan Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung). Penahanan dilakukan untuk 20 hari ke depan terhitung mulai hari ini di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK yang berlokasi di Pomdam Jaya Guntur.

Sebelumnya, KPK telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan  Ramlan Comel sebagai tersangka.  Ramlan Comel selaku Hakim Ad Hoc Tipikor pada PN Bandung diduga bersama-sama melakukan atau menyuruh melakukan atau turut serta melakukan terkait perbuatan Setya Budi Tejo Cahyono menerima pemberian atau janji terkait dengan penanganan perkara banding tindak pidana korupsi mengenai penyimpangan dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2009 - 2010 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat dengan terdakwa Rochman selaku mantan Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah Kota Bandung dan kawan-kawan.

Atas perbuatannya,  Ramlan Comel disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf c, atau Pasal 6 ayat (2), atau Pasal 5 ayat (2), atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.

--- --- --- ---
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Johan Budi SP
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. HR. Rasuna Said Kav C-1
Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
www.kpk.go.id | Twitter: @KPK_RI

Bupati Tapanuli Tengah menjadi Tersangka Sengketa Pilkada

Jakarta, 20 Agustus 2014. Dalam pengembangan penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait dengan pengurusan perkara sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2011, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Raja Bonaran Situmeang (Bupati Tapanuli Tengah) sebagai tersangka.

Tersangka Raja Bonaran Situmeang diduga memberi atau menjanjikan sesuatu kepada M Akil Mochtar selaku hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 2011 yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

Atas perbuatannya, Raja Bonaran Situmeang disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

)* Raja Bonaran Situmeang, SH, M.Hum adalah Bupati Tapanuli Tengah Periode Tahun 2011-2016 (id.wikipedia.org)
--- --- --- ---
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Johan Budi SP
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. HR. Rasuna Said Kav C-1
Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
www.kpk.go.id | Twitter: @KPK_RI

Kasus Korupsi Wali Kota Palembang (2014)

Suap Akil, Wali Kota Palembang dan Istri Tersangka

TEMPO.CO (16 JUNI 2014), Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wali Kota Palembang Romi Herton sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan sengketa pemilihan umum kepala daerah di Mahkamah Konstitusi (MK). Masyitoh, istri Romi, juga ditetapkan sebagai tersangka.

"Telah ditemukan dua alat bukti dan setelah gelar perkara, disimpulkan telah ada dugaan terjadi tindak pidana korupsi, disimpulkan RH dan M sebagai tersangka," kata juru bicara KPK, Johan Budi Sapto Prabowo, Senin, 16 juni 2014. "Surat perintah penyidikan diteken 10 Juni 2014."

Romi dan Masyitoh diduga menyuap bekas Ketua MK Akil Mochtar. Suap itu diduga ketika Akil menjadi hakim panel sengketa pemilihan wali kota Palembang. Romi diduga menyerahkan uang suap agar dirinya ditunjuk sebagai pemenang dalam pemilihan itu. Romi mengalahkan Sarimuda dengan selisih beberapa puluh suara saja.

Uang suap diduga diserahkan Romi melalui Masyitoh. Penyerahan dilakukan bertahap. Total uang yang diserahkan disebut mencapai Rp 20 miliar. (Baca: Wali Kota Palembang Romi Herton Diperiksa KPK)

Romi dan Masyitoh disangkakan melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 dan Pasal 65 ayat 1 kesatu Kitab UU Hukum Acara Pidana.

Pasangan suami-istri itu juga disangka memberikan saksi palsu di persidangan. Mereka diduga melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Itu artinya mereka dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar di persidangan," kata Johan. (Baca: Wali Kota Palembang Bersaksi untuk Akil)


Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/06/16/063585465/Wali-Kota-Palembang-dan-Istrinya-Jadi-Tersangka



Wali Kota Palembang Bersaksi untuk Akil  

TEMPO.CO (27 MARET 2014), Jakarta - Wali Kota Palembang Romi Herton dijadwalkan menjadi saksi untuk eks Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada persidangan Kamis, 27 Maret 2014, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Sidang yang dikhususkan untuk perkara dugaan suap pengurusan sengketa Pemilihan Wali Kota Palembang, Sumatera Selatan, tersebut diagendakan pada pukul 15.00 WIB. (Baca: Kenapa Akil Mochtar Sebut Jaksa Goblok?).

"Saksinya ada Romi Herton, Eftiyani, Masitoh, Mamat Surahmat, dan Heri Ashari alias Lakis," kata pengacara Akil, Hendrik Jeheman, melalui pesan singkat, Kamis, 27 Maret 2014. (Baca: Kesaksian Palsu, Orang Dekat Akil Bisa Dipidanakan). 

Pada dakwaan Akil disebutkan suap ini bermula saat 7 April 2013 Komisi Pemilihan Umum Kota Palembang menetapkan pasangan Sarimuda-Nelly Rasdania sebagai pemenang pemilukada Palembang. Lantas, pasangan Romi Herton-Harno Joyo menggugat keputusan itu.

Romi kemudian menghubungi orang dekat Akil, Muhtar Ependy, untuk melayangkan gugatan ke MK. Muhtar lantas memberitahukan hal itu kepada Akil. Romi mendaftarkan gugatan pemilukada Kota Palembang ke MK pada 16 April 2013. (Baca pula: Pegawai BPD Mengaku Lupa Wajah Istri Penyuap Akil).

Lalu pada Mei 2013, Muhtar menelepon Romi supaya menyiapkan sejumlah uang. Romi lantas menyanggupi menyiapkan Rp 20 miliar. Pada 16 Mei 2013, Romi menyerahkan duit itu melalui istrinya, Masitoh, sebesar Rp 12 miliar di Bank BPD Kalimantan Barat.

Adapun duit Rp 3 miliar dalam bentuk mata uang asing. Romi juga berjanji memberi sisa Rp 5 miliar melalui Muhtar setelah putusan MK terbit. Pada 20 Mei 2013, MK memutuskan membatalkan kemenangan pasangan Sarimuda-Nelly, dan memenangkan duet Romi-Harno yang awalnya kalah.

Setelah menang, Romi menyerahkan Rp 5 miliar itu kepada Muhtar. Oleh Muhtar, uang ini lantas disetorkan uang itu ke rekening CV Ratu Samagat, perusahaan milik istri Akil, di BNI Cabang Pontianak sebesar Rp 7,5 miliar. Sisanya dipakai modal usaha oleh Muhtar atas seizin Akil. (Baca: BPD Kalbar Akui Transfer Rp 3,8 M ke CV Istri Akil).


Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/03/27/063565744/Wali-Kota-Palembang-Bersaksi-untuk-Akil



Wali Kota Palembang Romi Herton Diperiksa KPK

TEMPO.CO (04 FEBRUARI 2014), Jakarta - Wali Kota Palembang Romi Herton mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa, 4 Februari 2014. Dia diperiksa penyidik KPK terkait dengan kasus dugaan suap di lingkungan Mahkamah Konstitusi.

Romi sebelumnya dikenakan status cegah oleh KPK sehingga tak bisa pergi dari Indonesia. Romi diperiksa terkait dengan bekas Ketua MK Akil Mochtar, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus tersebut. "Saya diperiksa untuk kasus Akil. Yang lain-lainnya belum tahu, nanti saja, ya," kata Romi sebelum masuk gedung KPK.

Romi tiba di KPK pukul 10.15 WIB. Mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan celana hitam, Romi langsung masuk dan duduk di lobi gedung. Dia tak berkata banyak kepada wartawan. (Baca juga: KPK Geledah Rumah Wali Kota Palembang)

Terkait dengan pengurusan sengketa pilkada Palembang dan Empat Lawang, Akil mendapat tambahan satu pasal sangkaan, yakni Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu mengatur pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi yang tak dilaporkan ke KPK.

Sangkaan baru itu diumumkan juru bicara KPK, Johan Budi Sapto Prabowo, pada 24 Januari 2014. Sebelumnya Akil diduga menerima Rp 3 miliar untuk pengurusan sengketa pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Serta Rp 1 miliar untuk sengketa pilkada Lebak, Banten.

Untuk kasus sengketa pengurusan pilkada Gunung Mas, Akil disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP atau Pasal 6 Undang-Undang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.

Sedangkan dalam kasus pilkada Lebak, Akil disangka dengan Pasal 12 huruf C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP atau Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. (Baca juga: Kasus Akil Bisa Seret Banyak Kepala Daerah)

Bekas politikus Partai Golongan Karya itu juga dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/02/04/063550911/Wali-Kota-Palembang-Romi-Herton-Diperiksa-KPK



KPK Geledah Rumah Wali Kota Palembang

TEMPO.CO (29 OKTOBER 2013), Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah rumah dinas dan kantor Wali Kota Palembang, Romi Herton, dan rumah dinas Bupati Empatlawang, Budi Antoni Aljufri, di Palembang. "Penggeledahan dilakukan sejak pukul 10.00 WIB," ujar juru bicara KPK, Johan Budi, Selasa, 29 Oktober 2013.

Menurut Johan, penggeledahan terkait dengan sangkaan baru terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi non-aktif Akil Mochtar. "Ini ada kaitannya dengan pilkada di daerah itu," katanya.
Akil mulainya ditetapkan tersangka lantaran menerima suap terkait sengketa pilkada Lebak, Banten, dan Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Ia kemudian disangka lagi menerima suap dalam sengketa pilkada lainnya. Lembaga antikorupsi itu menyebutkan bukti suap baru Akil berupa duit Rp 2,5 miliar, yang ditemukan di rumah dinas mantan politikus Golkar itu, di Jalan Widya Candra, Jakarta Pusat. Bukti lainnya berupa sejumlah mobil mewah yang ditemukan di rumah Akil lainnya di daerah Pancoran. Belakangan, KPK juga menetapkan Akil sebagai tersangka pencucian uang, sehingga Akil ditetapkan sebagai tersangka dalam empat kasus.

Johan mengatakan, penggeledahan berlangsung hingga Selasa siang ini, sehingga dia belum tahu apa saja barang yang disita KPK. "Kami masih menunggu update info dari sana," ujar dia.

Dalam kasus dugaan suap sengketa pilkada Lebak, Banten, KPK juga menetapkan Tubagus Chaeri Wardana, adik Gubernur Banten Atut Chosiyah, sebagai tersangka. Chaeri, yang juga suami Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, disangka menyual Akil Mochtar.

Kesaksian Sri Mulyani pada Sidang Century

Bailout Century berubah-ubah angkanya, membuat Sri Mulyani geram.

VIVAnews - Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya memberikan kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jumat 2 Mei 2014. Sri yang kini menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia bersaksi di persidangan mantan Deputi Gubernur Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Bank Indonesia Budi Mulya.
Dalam kesaksiannya di muka persidangan, Sri yang juga mantan Kepala Komite Stabilitas Sistem Keuangan, mengaku didesak BI untuk segera memutuskan status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik atau tidak. Pada rapat KSSK tanggal 21 November 2008, Sri mengatakan diminta oleh BI pada hari itu juga untuk segera menentukan apakah akan menutup atau menyelamatkan Bank Century.
Atas dasar itulah, Sri mengaku pada 21 November 2008, diputuskan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik sehingga diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Namun, Sri mengaku saat itu dia sempat meminta waktu untuk menentukan status Century. Sementara BI hanya memberi waktu 4,5 jam untuk mengambil keputusan.
Betul (saya tanyakan kenapa tidak bisa ditunda sampai Senin dan hanya diberi waktu 4,5 jam). Namun, BI katakan mereka tidak bisa lagi beri FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek) maka tanggal 21 November 2008, harus ditentukan apakah ini ditutup atau tidak, atau ditetapkan berdampak sistemik, katanya.
Dalam situasi mendesak menurut Sri Mulyani, akhirnya diputuskan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan diambil alih LPS. Dengan nilai Penyertaan Modal Sementara sebesar Rp632 miliar agar Capital Adequacy Ratio atau rasio kecukupan modal menjadi positif 8 persen. Dengan alasan penyelamatan dan mencegah krisis ekonomi serta agar sistem keuangan tidak mengalami permasalahan, maka keputusan melakukan penyelamatan, yang menjadi pertimbangan putusan tersebut dikeluarkan.
Malam hari itu dibutuhkan Rp632 miliar dengan pertimbangan mencegah sistem keuangan rusak yang nilainya Rp1.700 triliun. Sebagai pembuat kebijakan saya pertimbangkan keluarkan Rp632 miliar dengan sistem keuangan masyarakat tidak resah, seperti yang terjadi tahun 1997/1998. Jadi, perbandingannya antara menutup Bank Century dengan biaya lebih besar lagi, yaitu kepercayaan masyarakat yang mungkin akan runtuh, ungkap Sri.

Merasa ditipu
Secara tidak langsung Sri mengakui merasa tertipu oleh BI lantaran data dan angka yang diberikan untuk menyelamatkan Bank Century ternyata berubah. "Saya kecewa dengan data BI. Tetapi, sebagai Menkeu saya bertanggung jawab atas perekonomian di Indonesia," ujarnya.
Sri mengatakan angka penyelamatan yang awalnya dikatakan Rp632 miliar meningkat menjadi Rp4,6 triliun akibat ada surat-surat berharga  yang dimacetkan. "Saya kaget Rp632 miliar jadi Rp4,6 triliun. CAR 3,2 persen jadi minus 35,92 persen. Bisa mati berdiri saya kalau berubah terus," ujarnya.
Di persidangan, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi  Burhanuddin sempat bertanya kepada Sri, apakah pernah melaporkan persoalan Bank Century kepada Jusuf Kalla, yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden. Sri mengaku menemui Jusuf Kalla. Ketika itu, Sri menghadap ke Jusuf Kalla bersama Gubernur BI yang masih dijabat Boediono. Mereka menghadap untuk melaporkan soal pengambilalihan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Dalam kesaksiannya, Sri mengaku mendengar soal Bank Century pertama kali dalam kapasitas sebagai Ketua KSSK, tepatnya pada 13 November 2008. Pada saat itu, ia tengah berada di Washington DC, Amerika Serikat, sehingga konsultasi dengan pihak BI dilakukannya dengan cara telewicara.
Dua bulan sebelumnya, kata dia, dunia dilanda keguncangan karena keputusan AS tidak membailout Lehman Brothers, sehingga terjadi guncangan sangat besar. "Karena persepsi keuangan dunia mengalami guncangan sangat besar, tidak ada satu negara pun yang bisa menahan. Sehingga ini krisis global terbesar. Harga saham semua jatuh. Di Indonesia pada Oktober dilahirkan perppu, karena keadaan yang memaksa," ujarnya.

Peran Sri Mulyani
Dalam surat dakwaan Budi Mulya dikatakan Sri berperan terkait penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, sehingga diberikan Penyertaan Modal Sementara  oleh LPS sebesar Rp 6.762.361.000.000.
Pada rapat KSSK dengan Komite Koordinasi tanggal 21 November 2008, sekitar pukul 04.30 WIB, yang dihadiri oleh Sri Mulyani selaku Ketua KSSK, Boediono selaku anggota KSSK, Raden Pardede selaku Sekretaris KSSK dan Arief Surjowidjojo selaku konsultan hukum, secara tiba-tiba diputuskan bahwa Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik. Selanjutnya, meminta LPS melakukan penanganan terhadap bank tersebut.
Padahal, dalam rapat pra KSSK yang dilakukan pada 20 November 2008 sekitar pukul 23.00 WIB, belum diputuskan perihal penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Mengingat, banyak pendapat yang menyatakan bahwa Bank Century tidak terkategori sebagai bank berdampak sistemik. Sebagaimana, dikatakan oleh Rudjito selaku Ketua Dewan Komisioner LPS, Anggito Abimanyu, Fuad Rahmany dan Agus Martowardojo.
Selanjutnya, dalam Rapat Dewan Komisioner LPS diputuskan jumlah PMS untuk memulihkan Bank Century mencapai Rp 2.776.000.000.000, yang akhirnya terealisasi mulai 24 November 2008 sampai 1 Desember 2008.
Namun, di tengah waktu pertransferan PMS tersebut terjadi masalah yang membuat Sri Mulyani menekankan pada BI untuk membuat pertanggungjawaban atas penanganan Bank Century. Meski merasa kecewa akan sikap BI, pemberian PMS tetap dilanjutkan sampai 1 Desember 2008. Pemberian PMS terus berlangsung sampai 24 Juli 2009 dan jumlahnya mencapai Rp 6.762.361.000.000. Padahal, upaya penyelamatan tersebut terbukti tidak mampu membantu Bank Century, terlihat dari CAR per 31 Desember 2008 yang menurut hasil audit kantor akuntan publik Amir Abadi Jusuf & Mawan, masih dalam posisi negatif 22,29 persen.
Diduga memang ada skenario untuk memberikan PMS ke Bank Century. Skenario dimulai ketika rapat tanggal 16 Nopember 2008 yang dihadiri oleh Sri Mulyani (Menkeu/Ketua KSSK), Boediono, Miranda, Muliaman Hadad, Siti Fadjrijah, Fuad Rahmany, Noor Rachmat, Poltak L Tobing (LPS), Firdaus Djaelani (Kepala Eksekutif LPS) dan Suharno Eliandy (LPS).
Dalam rapat tersebut, Firdaus Djaelani mengatakan bahwa biaya menutup Bank Century lebih rendah dibandingkan harus menyelamatkannya. Namun, Boediono mengatakan perhitungan Firdaus hanya berdasarkan sisi mikronya saja. Sehingga, data tersebut diindahkan. Sebaliknya, DG Bi memerintahkan DPNP untuk menyiapkan konsep Analisis Dampak Sistemik (ADS) Bank Century untuk dipresentasikan dalam rapat KSSK tanggal 19 November 2008.
Tetapi, pada saat rapat dengan KSSK yang dipaparkan hanya gambaran umum kinerja perbankan di Indonesia. Sehingga, KSSK belum memutuskan bank Century berdampak sistemik sebagaimana diinginkan oleh BI. Bahkan, nampaknya BI memang memaksakan agar Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik. Terbukti, dari RDG tanggal 20 Nopember 2008, DG BI mengarahkan DPNP mempersiapkam kajian untuk mendukung alasan penetapan sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Untuk mewujudkan keinginan DG BI tersebut ditempuh berbagai macam cara. Termasuk, menggunakan pendekatan psikologi pasar atau masyarakat dalam analisa dalam sistemik Bank Century. Dengan tujuan, agar secara kuantitatif tidak terukur.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fikar Hajar ketika dihubungi VIVAnews, mengatakan apa yang disampaikan Sri Mulyani di persidangan sangat sedikit sekali kaitannya dengan perkara yang menjerat Budi Mulya. Menurutnya dakwaan jaksa mengenai penerimaan uang oleh Budi Mulya yang berasal dari pemilik Bank Century Robert Tantular sebesar Rp 1miliar sama sekali tidak mengemuka di persidangan.
Yang disampaikan oleh Sri Mulyani kurang mendetail dan hanya memberikan penjelasan secara global, katanya.
Namun menurut Abdul, kesaksian Sri harus ditindaklanjuti oleh JPU KPK. Kesaksian mengenai dampak sistemik, psikologi pasar termasuk latar belakang pengambilan keputusan Bank Century sebagai bank gagal harus dikembangkan oleh jaksa dalam persidangan selanjutnya. Abdul mengatakan pernyataan Sri yang merasa tertipu oleh BI juga harus ditanyakan oleh jaksa kepada mantan Gubernur BI Boediono.
Pada persidangan selanjutnya dimana Pak Boediono dijadwalkan memberikan kesaksian, pernyataan Sri Mulyani harus diklarifikasi agar publik memperoleh kejelasan, ujarnya.
Menurut Abdul jika Boediono berbelit-belit dalam menyampaikan keterangan di persidangan dan apa yang disampaikannya berbeda dengan kesaksian Sri pada hari ini maka keduanya harus kembali dihadirkan di persidangan.
Anggota tim pengawas Century DPR-RI Hendrawan Supratikno  mengatakan kesaksian Sri di pengadilan menunjukkan konsistensinya. Keterkejutan Sri ketika memberikan kesaksian menurut politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut menunjukkan episentrum permasalahan ada di BI. Menurut Hendrawan manajemen pengawasan yang buruk dan adanya unsur kesengajaan dalam pemberian FPJP menunjukkan adanya permasalahan di tubuh bank sentral.  "Informasi yang disampaikan oleh BI ke KSSK tidak akurat," ujarnya.
Hendrawan menambahkan hal tersebut menurutnya tidak perlu terjadi mengingat Bank Century adalah bank yang berada dalam pengawasan BI. Hendrawan juga menyetujui apabila kesaksian Sri diklarifikasi kepada Boediono pada persidangan pekan depan. Menurut Hendrawan, jaksa dan hakim serta pengacara di persidangan harus kembali mempelajari data-data yang telah disampaikan oleh Timwas ke KPK.
Menurut Hendrawan, kehadiran Boediono di persidangan akan menjadikan perkara Bank Century menjadi terang benderang. Sebagai gubernur bank sentral, Boediono diharapkan menjelaskan secara detail dan menyeluruh mengenai latar belakang pengambilan keputusan pemberian FPJP kepda Bank Century.

Pemanggilan Boediono
JPU KPK telah menjadwalkan pemanggilan atas Wakil Presiden Boediono sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kesaksian mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut diperlukan untuk sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Namun, Boediono rupanya belum menerima surat resmi dari KPK. Padahal, sudah beredar kabar Boediono akan dipanggil pada Jumat 9 Mei 2014, pekan depan.
Yang saya dengar minggu lalu di persidangan beliau dijadwalkan 9 Mei, sampai sekarang memang pemanggilan resmi belum kami terima, kata Juru Bicara Wakil Presiden, Yopie Hidayat, kepada VIVAnews, Jumat 2 Mei 2014.
Menurut Yopie jika surat resmi itu sudah diterima, dipastikan Boediono akan hadir dalam persidangan itu. Nama Boediono sendiri disebut sebanyak 67 kali dalam surat dakwaan Budi Mulya. Terdakwa Budi Mulya melakukan tindak pidana korupsi terkait pengucuran Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) untuk Bank Century bersama-sama dengan Boediono selaku Gubernur BI, Miranda Swaray Gultom selaku Deputi Gubernur Senior BI, Siti Chalimah Fadjrijah selaku Deputi VI Gubernur BI, Budi Rochadi selaku Deputi VII Gubernur BI, dan dua pemilik Bank Century yaitu Robert Tantular dan Harmanus H Muslim.
Di dalam surat dakwaan, mereka disebut mengubah peraturan Bank Indonesia, demi mengelontorkan dana FPJP kepada Bank Century. Peraturan nomor 10/26/PBI/2008 tertanggal 30 Oktober 2008 mensyaratkan bahwa sebuah bank harus memiliki rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) minimal 8 persen. Sementara, CAR Bank Century per 30 September 2008 hanya punya 2,35 persen. Artinya bank ini seharusnya ditutup dan tidak diselamatkan. (umi)


(Sumber: http://fokus.news.viva.co.id/news/read/501367-ketika-sri-mulyani-bersaksi-di-sidang-century)

Skandal Century dan Krisis 2008 di Mata Jusuf Kalla


  • Kata Kalla, Century tak layak dibantu karena dirampok pemiliknya.
  • Bank Century menerima total penggelontoran bailout tahap I hingga IV sekitar Rp6,7 triliun.


VIVAnews - Satu per satu, pejabat teras negeri ini duduk di kursi Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta untuk menjelaskan skandal dana talangan ke Bank Century. Setelah mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, kemarin giliran Jusuf Kalla memberikan kesaksian.
Kamis 8 Mei 2014, Kalla diperiksa dalam kapasitas sebagai wakil presiden. Dia bersikukuh bahwa Bank Century tidak layak dibantu karena bank itu bangkrut setelah dirampok pemiliknya sendiri. Selain itu, kata Kalla, bailout Century menyalahi aturan.
Politisi 71 tahun itu memulai kesaksiannya dengan mengingat pertemuannya dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono pada 25 November 2008. Kata Kalla, keduanya tampak panik dan tergesa-gesa.
"Mereka bilang ada pengeluaran tiba-tiba. Sampai Senin (24 November 2008) sudah cair Rp2 triliun lebih kepada Bank Century," kata Kalla.
Kalla yang kaget masih sempat bertanya, mengapa ada pengeluaran sebesar itu. "Mereka jawab, Bank Century dikriminalisasi. Banknya dirampok pemiliknya sendiri," jelas Kalla.
Di situlah Kalla mengaku baru tahu soal masalah Bank Century. Padahal, kata dia, kedua pejabat itu tidak mengatakan apapun soal kasus Century dalam Rapat Kabinet tanggal 20 November 2008. "Di rapat kabinet yang saya pimpin itu, mereka hanya mengatakan ada krisis dari Amerika Serikat. Ya, mempengaruhi sedikit perekonomian kita. Tapi, perbankan masih aman," kata Kalla.
Rupanya tanpa sepengetahuan Kalla, Mulyani dan Boediono serta sejumlah pejabat menggelar rapat sejak 20 November sore hingga keesokan harinya. Keputusan rapat yang dipimpin Mulyani selaku Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan menyatakan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik sehingga perlu dibantu dengan dana talangan atau bailout.
Yang membuat Kalla geleng kepala adalah jumlah dana bailout ke Century itu. Belakangan dia pun baru tahu bahwa dana itu membengkak sangat besar dari keputusan awal.
Rapat KSSK 21 November 2008, kata dia, memutuskan bahwa bailout ke Bank Century hanya sebesar Rp632 miliar. "Tapi, di laporan Mulyani dan Boediono tanggal 25 November, uang yang sudah mengucur itu lebih dari Rp2 triliun. Betul kata Sri Mulyani, bisa mati berdiri kalau begini," kata Kalla di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor itu.
Kalla juga berpendapat, penggelontoran dana itu tidak ada dasar hukumnya. Apalagi, Pemerintah saat itu hanya membatasi angka dana nasabah yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yakni sampai Rp2 miliar saja. Aturan bailout tidak ada. Jadi tindakan itu melanggar.
Tak menunggu lama, Kalla kemudian meneruskan laporan Mulyani dan Boediono ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu subuh 26 November 2008. SBY baru saja kembali dari lawatan luar negeri. Dan, "Dia (SBY) terkejut."
SBY minta laporan yang lebih detail. Kalla pun melaporkan bahwa Bank Century dianggap gagal dan di-bailout Rp2,7 triliun. "Itu karena perampokan, kriminalisasi pemiliknya. Saya juga lapor bahwa saya sudah suruh pemiliknya ditangkap," jelasnya.
Dengan demikian, politisi gaek Partai Golkar ini sekaligus membantah kesaksian Sri Mulyani di sidang tanggal 2 Mei lalu. Dalam sidang itu, Mulyani mengaku mengirim pesan singkat atau SMS ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga ditembuskan ke Wapres Jusuf Kalla setelah rapat KSSK 21 November 2008. Isinya, laporan soal hasil rapat.
"Saya hanya dilapori pada 25 November 2008 saja," kata Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) itu. [Baca: Sri Mulyani Pernah Sampaikan Soal Century ke Presiden Lewat SMS]
Sebagai informasi, dana talangan ke Bank Century itu bahkan terus membengkak hingga akhirnya mencapai angka Rp6,7 triliun. Dana ini dialirkan ke Bank Century dalam beberapa tahap.

Moral Hazard
Berkaca dari pengalaman krisis moneter Indonesia 1998, tak berlebihan jika Kalla geram pada pengucuran bailout ke Century senilai Rp6,7 triliun. Kalla menilai, bailout itu sama saja dengan blanket guarantee yang diterapkan Pemerintah pada 1998.
"Saya katakan kenapa terjadi ada apa? Padahal ketentuan pemerintah tidak izinkan blanket guarantee untuk bailout," ujarnya.
Indonesia punya pengalaman buruk terkait kebijakan blanket guarantee yang telah menyulitkan negara pada tahun 1998. Gara-gara kebijakan itu, muncul skandal Bantuan Likuiditas BI. Di samping itu moral hazard pemilik bank juga menjadi penyebab BI memberikan BLBI Rp600 triliun lebih.
"Akibatnya, hampir 15 tahun setelah itu, kita harus membayar Rp100 triliun setiap tahun. Bunga dan cicilan akibat blanket guarantee itu," tegasnya.
Dia berharap pengalaman tahun 1998 tidak terulang tahun 2008 atau seterusnya. "Jangan pernah terjadi blanket guarantee kapanpun di Indonesia, jangan sampai terjadi menjamin apapun. Itu yang menyebabkan krisis yang besar 1998 akibat blanket guarantee," ucapnya.

Kalla Bicara FPJP
Dalam kesempatan itu, Kalla juga diminta keterangannya soal pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) ke Bank Century. Fasilitas ini diberikan BI ke Century sebelum dana talangan.
Kalla menilai, tak ada yang salah dengan pemberian FPJP kepada satu bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas. Kalla pun membenarkan bahwa FPJP diatur dalam Pasal 11 dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Pasal ini menyebutkan bahwa BI dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah paling lama dalam jangka waktu 90 hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada yang bersangkutan.
"Tapi, yang jadi masalah kan sekarang boleh atau tidaknya, besaran, dan apakah bank itu memenuhi syarat. FPJP ya boleh," ujarnya. Ia pun mengatakan bahwa besaran dan syarat pemberian FPJP kepada bank adalah wewenang internal BI. 
Diberitakan sebelumnya, Budi Mulya didakwa menyalahgunakan kewenangan dalam dua proses penyelamatan Bank Century. Pertama, penggelontoran FPJP dan kedua, penetapan bank itu sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Jaksa menilai, Budi Mulya tak sendirian. Keputusan pencairan FPJP kepada Bank Century itu dianggap dilakukan secara bersama-sama, meski peran para pejabat Bank Indonesia tersebut tidak sama. “Mereka menyetujui dalam Rapat Dewan Gubernur. Budi Mulya jelas perannya aktif dan terima (Rp1 miliar),” ujar Jaksa. Artinya, sejauh ini baru Budi Mulya lah yang diketahui jaksa menerima uang dari kasus ini. Ini untuk kasus pemberian FPJP itu.
Pejabat BI yang disebut Jaksa ikut dalam proses ini adalah Boediono selaku Gubernur BI, Miranda Swaray Gultom selaku Deputi Gubernur Senior BI, Siti Chalimah Fadjrijah selaku Deputi VI Gubernur BI, Budi Rochadi selaku Deputi VII Gubernur BI, dan dua pemilik Bank Century yaitu Robert Tantular dan Harmanus H Muslim.
Di proses kedua, Jaksa menyebut Budi Mulya menyalahgunakan kewenangannya bersama-sama dengan mantan Deputi III Gubernur BI Hartadi A Sarwono, mantan Deputi V Gubernur BI Muliaman D Hadad, mantan Deputi VIII Gubernur BI Ardhayadi M, serta Raden Pardede selaku Sekretaris KSSK.

Kronologi penyelamatan Century
Pemberian dana ke Century itu bermula ketika bank hasil merger Bank Pikko, Danpac, dan CIC tersebut mengalami kesulitan likuiditas pada Oktober 2008. Dalam hasil pemeriksaan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bulan November 2009, terungkap bahwa Bank Century sebetulnya sudah bermasalah sejak 2005.
Sejak 29 Desember 2005, Century masuk daftar "pengawasan intensif" BI, karena berpotensi kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usaha bank.
Kemudian, 6 November 2008, BI menetapkan Century sebagai bank "dalam pengawasan khusus" dengan posisi rasio kecukupan modal minimum atau Capital Adequacy Ratio (CAR) 2,35 persen. Manajemen Century lalu mengirim surat kepada Bank Indonesia pada 30 Oktober 2008. Mereka meminta fasilitas repo aset kredit senilai Rp1 triliun.
Direktur Pengawasan Perbankan BI Zainal Abidin, yang kala itu mendapat tembusan permohonan dari Century, lantas mengirimkan laporan tertulis kepada Boediono dan Fadjrijah pada 30 Oktober 2008.
BI kemudian memproses pengajuan tersebut sebagai permohonan FPJP. Namun, Century tak memenuhi syarat untuk mendapat fasilitas pendanaan jangka pendek itu. Penyebabnya, masalah kesulitan likuiditas Century sudah mendasar akibat penarikan dana nasabah dalam jumlah besar secara terus-menerus.
Century juga insolvent, karena rasio kecukupan modal hanya 2,35 persen (per 30 September 2008). Padahal, sesuai dengan Peraturan BI (PBI) Nomor 10/26/PBI/2008 tertanggal 30 Oktober 2008, syarat untuk mendapat bantuan itu adalah CAR bank harus 8 persen.
Pada 14 November 2008, BI mengubah PBI mengenai persyaratan pemberian FPJP tersebut, khususnya mengenai angka CAR dari semula minimal 8 persen menjadi CAR positif. BPK menduga, perubahan ini hanya rekayasa agar Century mendapat fasilitas pinjaman itu. Karena menurut data BI, posisi CAR bank umum per 30 September 2008 berada di atas 8 persen, yaitu berkisar 10,39-476,34 persen.
Menurut BPK, satu-satunya bank yang CAR-nya di bawah 8 persen hanya Century.
BI akhirnya menyetujui pemberian FPJP kepada Century sebesar Rp502,07 miliar, karena CAR Century sudah memenuhi syarat PBI. Belakangan, BI bahkan memberi tambahan FPJP sebesar Rp187,32 miliar. Total, FPJP yang diberikan BI kepada Century Rp689 miliar.
BPK kemudian mencium kejanggalan, karena posisi CAR Century negatif 3,53 persen sebelum persetujuan FPJP. Dengan demikian, BPK menilai Bank Indonesia telah melanggar PBI No 10/30/PBI/2008 yang menyatakan bank yang dapat mengajukan FPJP adalah bank dengan CAR positif.
Berikut kronologi penggelontoran FPJP dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) kepada Bank Century seperti dikutip dari hasil audit BPK atas Bank Century tahun 2009:

30 September 2008
Rasio kecukupan modal (CAR) Bank Century positif 2,35 persen. Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/26/PBI/2008, bank penerima FPJP harus memiliki CAR minimal 8 persen. Dengan demikian, Century tidak memenuhi syarat memperoleh FPJP.

30 Oktober 2008
Bank Century mengajukan repo aset kredit kepada Bank Indonesia sebesar Rp1 triliun.

14 November 2008
BI mengubah PBI mengenai persyaratan pemberian FPJP dari semula CAR 8 persen menjadi CAR positif. Pada hari yang sama, BI menyetujui pemberian FPJP kepada Century sebesar Rp502,07 miliar, karena CAR Century sudah memenuhi syarat PBI.

14 November 2008, pukul 20.43 WIB
BI mencairkan FPJP Century Rp356,81 miliar.

17 November 2008
BI kembali mencairkan Rp145,26 miliar.

18 November 2008
BI memberi tambahan FPJP Rp187,32 miliar, sehingga total FPJP yang diberikan BI kepada Century sebesar Rp689 miliar.

21 November 2008
Rapat Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) memutuskan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Dalam notulensi yang didapat BPK, rapat ini juga dihadiri pejabat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), BI, Kementerian Keuangan, dan PT Bank Mandiri Tbk.
Pada umumnya, demikian disebut dalam hasil investigasi BPK, peserta rapat mempertanyakan dan tidak setuju dengan argumentasi serta analisis BI yang menyatakan Bank Century ditengarai berdampak sistemik.
Dalam rapat itu, BI berargumen:
"Sulit untuk mengukur apakah dapat menimbulkan risiko sistemik atau tidak karena merupakan dampak berantai yang sulit diukur dari awal secara pasti. Yang dapat diukur hanyalah perkiraan cost/biaya yang timbul apabila dilakukan penyelamatan. Mengingat situasi yang tidak menentu, maka lebih baik mengambil pendekatan kehati-hatian dengan melakukan penyelamatan, namun dengan meminimalisir cost. Keputusan harus diambil segera dan tidak dapat ditunda sampai Jumat sore seperti saran LPS karena Bank Century tidak punya cukup dana untuk pre-fund kliring dan memenuhi kliring sepanjang hari itu."
Dalam rapat hari itu juga diputuskan penanganan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik diserahkan ke LPS.

24 November 2008
LPS mulai mengucurkan Penyertaan Modal Sementara (PMS) atau yang lebih dikenal dengan sebutan dana talangan (bailout) tahap I sejumlah Rp2,77 triliun kepada Bank Century. Dana ini dikucurkan bertahap sebanyak enam kali, yakni 24-28 November 2008 dan 1 Desember 2008.

9 Desember 2008
Lembaga Penjamin Simpanan mengucurkan dana talangan tahap II sebesar Rp2,2 triliun. Uang ini digelontorkan 13 kali sejak 9 hingga 30 Desember 2008. Dana ini dikucurkan dengan alasan untuk memenuhi likuiditas.

4 Februari 2009
Lembaga Penjamin Simpanan mengucurkan lagi dana talangan tahap III sebesar Rp1,15 triliun untuk menutupi kebutuhan CAR berdasarkan hasil assesment BI, yaitu 8 persen. Dana ini disetor 3 kali, sejak 4 Februari 2009.

24 Juli 2009
Lembaga Penjamin Simpanan mengucurkan dana tahap IV sejumlah Rp630 miliar untuk menutupi kebutuhan CAR Bank Century. Penggelontoran ini dilakukan 1 kali.
Bank Century menerima total penggelontoran bailout tahap I hingga IV sekitar Rp6,7 triliun. (umi)

(Sumber: http://fokus.news.viva.co.id/news/read/502975-skandal-century-dan-krisis-2008-di-mata-jusuf-kalla)