Sindikat di Belakang Sony

TUDUHAN baru kini bertambah lagi untuk Gayus. Setelah 13 jam diperiksa Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Rabu pekan lalu, Gayus dinyatakan sebagai tersangka pemakai paspor palsu. "Menjadi tersangka karena menggunakan paspor palsu itu saat ke luar negeri," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Komisaris Besar Boy Rafli Amar.

 

Kisah Gayus pelesiran berbekal paspor palsu ini terungkap setelah Devina, warga Raffles Hills, Cibubur, mengirim surat pembaca ke Kompas pada 2 Januari lalu. Devina yakin melihat terdakwa mafia pajak ini saat ia pergi ke Singapura pada 30 September silam. Aparat kemudian menelisik informasi Devina ini. Terungkap tak hanya terbang ke Negeri Singa, Gayus juga ternyata pernah terbang ke Kuala Lumpur dan Makau.

 

Lantaran berstatus terdakwa, pria berusia 31 tahun ini memang tak mungkin menggunakan paspor aslinya ke luar negeri. Paspornya sudah ditahan. Statusnya pun sudah masuk cegah tangkal alias cekal. Karena itu, satu-satunya cara, jika ingin nekat ke luar negeri, ya memakai paspor palsu.

 

Tim investigasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah menelusuri paspor yang dipakai Gayus melesat ke sejumlah kota di luar negeri itu. Bapak tiga anak itu menggunakan paspor bernomor T 116444 dengan nomor registrasi 1A11JC4539-JRT. Paspor itu atas nama Sony Laksono, tanggal lahir 15 Agustus 1975, dan diterbitkan pada 5 Januari 2010. Blangko paspor tersebut asli. Hanya, "Semua datanya palsu," kata Menteri Kehakiman Patrialis Akbar kepada Tempo.

 

Formulir paspor atas nama Sony itu awalnya milik seorang bocah lima tahun bernama Ananda Margaretha. Orang tua si bocah saat itu mengurus paspor di kantor Imigrasi Jakarta Timur pada Maret 2010. Belakangan, sang ayah tak melanjutkan pengurusan karena sibuk. "Formulir itu dibiarkan tak diurus lebih dari sebulan," kata Patrialis.

 

Perlahan tapi pasti, asal-usul paspor "Sony Laksono" mulai terkuak. Penyidik Bareskrim menangkap Arie, 35 tahun, di rumahnya di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan, Ahad dinihari. Arie mengaku dibayar US$ 2.500 untuk membantu pembuatan paspor tersebut. "Dia bertugas mengambil foto Gayus dan sidik jari untuk paspor," kata Boy Rafli.

 

Selain menangkap Arie, polisi mencokok Agung, kakak kelas Gayus di SMA. Kepada Agung inilah Gayus menyampaikan keinginannya mendapat paspor. Order ini lantas disampaikan kepada Arie, teman kuliahnya, yang juga diperkenalkan kepada Gayus. Untuk pembuatan paspor ini, Gayus, ujar polisi, mengeluarkan duit Rp 900 juta. Menurut polisi, selain Agung dan Arie, ada pula pria berinisial J yang ditangkap dalam kaitan paspor Gayus ini. "Sedang ditelusuri perannya," ujar seorang polisi.

 

"Operasi" pembuatan paspor aspal itu dilakukan pada Juli tahun silam, sekitar empat bulan setelah Gayus ditangkap dan ditahan lantaran kasus mafia pajak. "Ini pekerjaan sindikat pembuat paspor palsu," kata Boy.

 

Meski palsu, blangko itu resmi buatan Direktorat Jenderal Imigrasi. Soal ini juga diakui Patrialis Akbar. Hanya, memang kejanggalan muncul dari paspor ini. Yang paling nyata, foto Sony yang memperlihatkan rambut yang menutup sebagian dahi dan kacamata tebal yang dipakai seharusnya tak boleh digunakan saat foto diambil.

 

Jika diperinci, setidaknya ada enam kejanggalan yang terdapat dalam paspor atas nama Sony Laksono itu. Selain foto wajah yang tak semestinya, nomor paspor dan nomor registrasi milik Sony Laksono itu tak cocok dengan sandi yang selama ini diterapkan Imigrasi. Huruf T di deretan nomor paspor, serta empat angka terakhir di nomor registrasi paspor, dipastikan salah. "Keduanya tak cocok dengan sandi tahun pembuatan dan tanggal lahir yang tertera di paspor Sony," kata sumber Tempo yang tahu benar soal paspor itu.

 

Untuk membuat paspor asli sebenarnya tak sulit. Pemohon tinggal datang ke kantor Imigrasi tempat ia berdomisili. Berkas yang dibutuhkan: kartu keluarga, kartu tanda penduduk, akta kelahiran, dan ijazah sekolah. Dengan bekal berkas itu, pemohon lantas mendaftar dan membuat permohonan paspor di loket yang ada. "Pemohon harus datang sendiri ke loket," kata Patrialis.

 

Lewat sistem pembuatan paspor baru bernama Sistem Perjalanan Republik Indonesia (SPRI) yang berlaku sejak 2008, pembuatan paspor kini bahkan tak lebih dari empat hari. Ini dihitung sejak pengambilan foto dan sidik jari. Biaya yang dibutuhkan Rp 255 ribu untuk paspor umum 24 halaman. Sejak awal tahun ini Imigrasi juga membuat terobosan baru, menerapkan pembuatan e-paspor. Paspor elektronik ini akan diterapkan secara massal pada 2015. Menurut Patrialis, lewat metode SPRI dan e-paspor ini, bandit sulit membuat paspor palsu. Sistem di Imigrasi, ujarnya, juga sudah terintegrasi dan bisa dikatakan sempurna. "Kecuali ada oknum yang usil," katanya.

 

Sumber Tempo menyebut paspor Gayus kemungkinan besar dibuat di sebuah percetakan di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Daerah ini memang sentra berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan cetak-mencetak. Didatangi pekan lalu, sejumlah orang yang selama ini disebut-sebut bisa mengusahakan pembuatan paspor palsu menggeleng. "Sekarang tidak ada lagi," ujar salah seorang dari mereka. Kepada Tempo, mereka menyatakan hanya melayani pembuatan kartu keluarga dan KTP palsu dengan harga Rp 150 ribu per lembar. "Ngeri, paspor palsu itu gampang terlacak siapa pembuatnya," kata salah seorang pemilik percetakan. "Hukumannya juga lebih berat," ujar seorang pemilik percetakan lainnya.

 

Patrialis menunjuk blangko paspor milik Sony itu sebelumnya dibawa ke luar negeri. Di sana, blangko yang kosong itu diisi dengan foto, sidik jari, dan nama. "Paspor itu dicetak dengan teknologi canggih yang belum ada di Indonesia," katanya. Indikasinya, ujar Patrialis, paspor itu lolos di imigrasi negara lain. "Alat pemindai paspor mereka juga bisa dibohongi," katanya. Modus seperti ini, kata Patrialis, baru pertama kali terungkap di Indonesia, ya paspor Gayus itu.

 

Polisi kini juga tengah memburu pria berinisial J yang diduga otak sindikat pemalsuan paspor ini. "Kami perkirakan ia masih di Indonesia," kata Boy Rafli. Seorang sumber Tempo menyatakan, J yang disebut polisi itu adalah John Jerome Grice, 40 tahun. Dari paspornya tercatat Grice adalah warga California, Amerika Serikat.

 

Apa boleh buat, siapa di balik paspor Gayus "Sony Laksono" Tambunan ini memang masih temaram. Walau Patrialis menunjuk pembuatannya di luar negeri, sejumlah sumber Tempo tetap yakin paspor itu sebenarnya dibuat di Jakarta. Kantor Imigrasi Jakarta Timur, yang semestinya menggunting formulir Margaretha yang sudah kedaluwarsa, melakukan kesalahan dengan membiarkan data Margaretha menganga. "Kuncinya ada di Imigrasi Jakarta Timur itu," ujar sumber Tempo.

 

Pekan lalu Patrialis sudah mencopot Kepala Kantor Imigrasi Jakarta Timur, Nasrul Ngabdimasa, yang baru bertugas di sana delapan bulan. Tim investigasi Kementerian Kehakiman memang mesti menelusuri lebih cermat siapa saja "pemain paspor" dari kantor ini.

 

 

 

Sumber:

Mustafa Silalahi, Cornila Desyana, Anton Septian

http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/gayus.akal.fulus/page05.php

No comments:

Post a Comment