Kas Bocor Harta Koruptor (Uang Pengganti)

Palu hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah diketuk untuk Dicky Iskandar Dinata. Lelaki yang tadinya menjabat sebagai Direktur Utama Bank Duta itu dijatuhi vonis delapan tahun penjara dan harus membayar uang pengganti Rp 800 milyar. Mengiringi vonis ini, sejumlah asetnya disita Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta.

Vonis itu jatuh pada Mei 1992. Ketika itu, Dicky dianggap bersalah telah merugikan negara hampir Rp 1 trilyun. Sebuah rekor korupsi pada saat itu. Motifnya, Dicky menggunakan uang BUMN itu --sebagian saham Bank Duta dikuasasi BUMN, PP Berdikari-- untuk bermain valas. Bila untung, diambilnya sendiri. Namun, bila rugi, dibebankan kepada perusahaan.

Vonis itu sudah usang. Dicky bahkan telah menjalani seluruh masa hukumannya dan kembali bebas. Namun, selepas menjalani hukuman itu, ia terjerat kasus: pembobolan Bank Negara Indonesia (BNI) sebesar Rp 2 trilyun. Selaku Direktur PT Brocolyn International, ia terlibat dalam penerbitan letter of credit (L/C) palsu, yang kemudian dipakai untuk membobol BNI Cabang Kebayoran Lama pada 2008. Pada kasus kedua ini, Dicky dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider lima bulan kurungan.

Masalahnya, harta yang harus disita negara dari Dicky ternyata tak pernah masuk ke kas negara. Untuk kasus tahun 1992, kejaksaan seharusnya bisa menyerahkan sejumlah barang rampasan. Menurut catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), semuanya ada 14 item, bernilai ratusan milyar rupiah. Antara lain dua mobil BMW dan Mercedes-Benz, sejumlah rekening bank, dan sejumlah saham di beberapa perusahaan besar, seperti PT Gajah Surya Mukti Finance, PT Great River, PT Panin Bank, PT BAT Indonesia, PT Hotel Sahid, dan PT INCO.

Kekayaan negara yang tidak jelas rimbanya itu terungkap dalam laporan hasil pemeriksaan BPK RI yang dirilis bulan ini. Tidak jelasnya saldo tagihan uang pengganti itu terjadi di sebagian besar kejaksaan di seluruh Indonesia. BPK, yang mengambil sampel di Kejati DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Kepulauan Riau, menemukan bahwa saldo tagihan uang pengganti untuk kejati-kejati itu mencapai Rp 11,38 trilyun atau 96,79% dari total saldo tagihan uang pengganti yang dilaporkan.

Di antara kekayaan negara yang masih gelap keberadaannya adalah aset para koruptor kakap. Selain Dicky, ada aset milik Sudjiono Timan, Yudi Kartolo, Hartono Tjahjadjaja, Widjanarko Puspoyo, Mirta Sasmita Atmawijaya, dan sederet nama lainnya. Padahal, harta-harta itu pernah diberitakan telah disita negara, seperti harta Sudjiono Timan berupa tanah kavling di Mega Kuningan Barat, Jakarta.

Menurut Kepala Biro Humas BPK, Bahtiar Arif, uang pengganti itu seharusnya disetor ke kas negara sebagai pendapatan negara bukan pajak tak lama setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap. BPK, yang bertugas memantau tindak lanjut realisasi setoran tersebut, tidak menemukan dana masuk dari pos itu. Temuan BPK hanya sampai pada kesimpulan bahwa kekayaan negara sebesar itu belum terekap. Tak jelas, apakah penyitaan harta benda itu tidak pernah teralisasi atau sudah terealisasi tapi uangnya dipakai bancakan oleh oknum.



Persoalan seperti ini sebetulnya bukan hal baru. Meski berkali-kali disoal, pengelolaan harta rampasan ini tak pernah beres. Anggota BPK periode sebelumnya, Baharudin Aritonang, pernah meminta Departemen Keuangan menelusuri duit pengganti dan denda perkara korupsi ini. Apa yang diungkapkan Baharudin ini sempat mengagetkan para pimpinan negara.

Pada saat itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Hendarman Supandji yang belum lama menjabat sebagai Jaksa Agung sepakat untuk mengauditnya. Berdasarkan audit BPK pada saat itu, saldo piutang uang pengganti dan denda per 31 Desember 2005 tercatat Rp 6,1 trilyun. Dari jumlah itu, dana yang telah kembali ke negara hanya Rp 3,56 trilyun dan US$ 3 juta. Sisanya tidak jelas.

Pengacara senior Adnan Buyung Nasution pernah mengungkap kesaksian bahwa barang bukti hasil sitaan rawan dimanipulasi. "Pengalaman sebagai jaksa, ada yang menukar emas murni menjadi emas sepuhan," kata jaksa sekaligus Kepala Humas Kejaksaan Agung periode 1957-1968 itu. Ada juga barang sitaan yang dijual oknum jaksa. Pada tahun lalu, misalnya, dua jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Esther Thanak dan Dara Veranita, diketahui menjual narkoba yang menjadi barang bukti.

Namun Jaksa Agung Muda Pengawasan, Marwan Effendy, menolak tudingan adanya penggelapan harta rampasan negara di institusinya itu. "Itu hanya tuduhan dari pihak-pihak tertentu yang ingin menyudutkan kejaksaan," katanya. Menurut Marwan, sebenarnya masalah ini muncul hanya karena persoalan salah persepsi. BPK menganggap, kalau kasusnya sudah putus, maka uangnya serta-merta akan masuk. Padahal, terkadang uang itu masih ditagihkan kepada ahli waris.

Selain itu, ada instrumen subsider. Artinya, kalau tidak mampu membayar denda, seorang koruptor bisa dikurung, tapi tidak melebihi pidana pokoknya. Faktanya, para terpidana korupsi itu lebih senang menjalani hukuman subsidernya. "Jadi, kalau harus bayar Rp 4 milyar dengan subsider kurungan tiga atau enam bulan, dia lebih senang menjalani subsidernya. Ini yang membuat kami jadi repot," paparnya.

Marwan mengungkapkan, cara kerja di instansinya dalam hal ini tidak melakukan apraisal terhadap barang rampasan dari awal. "Jadi, kami menyita, ya, nyita aja. Nanti, setelah lelang, baru ketahuan nilainya," kata Marwan. Pada kenyataannya, harga jual barang rampasan itu sering lebih murah dari perkiraan awal.

Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch meminta kejaksaan transparan menjelaskan keberadaan uang hasil rampasan dari para pelaku korupsi itu. Namun hal ini hanya bisa dipenuhi lembaga itu kalau memiliki tata pembukaan yang baik, pengelolaan yang terencana, profesional, dan akuntabel. Contoh terbaru, sampai saat ini belum ada penjelasan resmi dari penegak hukum tentang berapa sebenarnya harta milik Gayus Tambunan. Pantaslah jika orang menyangka, kepergian Gayus ke luar negeri untuk mengamankan asetnya.

Kekeliruan paradigma juga terkandung dalam Pasal 18 Undang-Undang Antiorupsi. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa perampasan harta atau kekayaan hanya ditujukan kepada terpidana. "Padahal, modus menyembunyikan harta kekayaan hasil korupsi biasanya dengan menggunakan sanak keluarga, kerabat dekat, atau orang terpercaya," ujar Adnan.




Mujib Rahman, Mukhlison S. Widodo, dan Anthony Djafar
[Hukum, Gatra Nomor 11 Beredar Kamis, 20 Januari 2011] 

No comments:

Post a Comment