Ironi Pengadilan Tipikor

Tanpa terasa, satu setengah tahun telah terlewati sejak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 012-016-019/PUU-IV/2006 dibacakan pada 19 Desember 2006. Pada putusan tersebut, meski MK menegaskan urgensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor), MK menyatakan pada substansinya UU KPK tetaplah merupakan hal yang inkonstitusional. MK kemudian memberikan "masa tunggu" selama tiga tahun agar pengadilan tersebut mendapatkan basis legal dalam bentuk UU tersendiri. Jika dalam waktu tiga tahun UU tersendiri mengenai pengadilan tipikor tidak kunjung terwujud, maka pengadilan tipikor yang ada saat ini akan terkubur bersama semangat pemberantasan korupsi.

Hingga kini pengadilan tersebut masih tersandera. UU untuk mendukung kerjanya terhadang berbagai alasan. Benarkah keseriusan pembahasannya berbanding lurus dengan rancangan undang-undang yang dihasilkan? Rasanya tidak!

Komposisi Hakim

Substansi rancangan yang ada saat ini masih jauh dari harapan seriusnya upaya memberantas korupsi. Paling utama terlihat jelas pada Pasal 27 RUU ini, "Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana korupsi dilakukan dengan majelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang hakim. Terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc yang komposisinya ditetapkan oleh ketua pengadilan atau ketua MA sesuai dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan."

Setidaknya, ada dua isu penting di sini, yakni perihal komposisi hakim dan kewenangan penetapan yang diberikan kepada ketua pengadilan atau ketua MA.

Pertama, dengan komposisi hakim yang tidak ditentukan perbandingannya secara limitatif, pengadilan ini akan sangat berpeluang tersandera. Bayangkan, jika kemudian bersidang dengan 5 hakim, namun minim hakim ad hoc. Dengan ketentuan yang terbuka macam ini, seseorang yang memiliki kewenangan melakukan penetapan komposisi, berwenang untuk hanya melibatkan satu orang hakim ad hoc.

Dengan kemungkinan komposisi 4 hakim karier dan 1 hakim ad hoc, sama saja dengan mendorong pemberantasan korupsi ke jalur lambat. Harus diingat, semangat mendirikan pengadilan tipikor menjadi pengadilan khusus dibanding mempercayakannya ke pengadilan umum adalah tindakan akibat rendahnya kepercayaan terhadap pengadilan umum. Jika komposisi pengadilan tipikor itu tetap dikuasai para hakim karier, peluang untuk jatuh ke dalam lubang yang sama tetap besar. Memang tidak tertutup kemungkinan komposisi dream team, empat hakim ad hoc dan 1 hakim karier, namun rasanya komposisi ini mustahil mengingat hubungan tidak harmonis antara hakim karier dan hakim ad hoc.

Selama ini komposisi majelis hakim tipikor umumnya terdiri atas 2 (dua) orang hakim karier dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Komposisi ini telah cukup berarti dan menjadi "pelita kecil" di kegelapan belantara korupsi. Semua koruptor yang disodorkan ke pengadilan tipikor harus berakhir sedih di penjara. Anehnya, kenapa kemudian komposisi ini tidak dipertahankan? Kenapa mesti mengubahnya dengan komposisi yang malah dibiarkan terbuka lebar?

Kedua, tentang kewenangan penetapan oleh ketua pengadilan atau ketua MA. Ini seakan menyediakan cek kosong kepada jabatan yang hingga saat ini tidak dipercaya untuk mendorong perubahan. Memberikannya kepada ketua pengadilan sama saja mengulang logika buntu siklikal. Buat apa berharap pembentukan pengadilan khusus tipikor yang akan menjadi satu-satunya pengadilan yang menyidangkan perkara korupsi, tetapi malah menyerahkan kewenangan besar ini kepada ketua pengadilan umum? Bukankah permintaan adanya peradilan khusus justru karena tidak percaya pada peradilan umum?

Sekadar mengingatkan, dalam catatan PuKAT Korupsi FH UGM, 20 kasus yang telah divonis selama periode Januari hingga Juni 2008 menunjukkan betapa tidak seriusnya penanganan korupsi oleh pengadilan umum. Dari total 20 kasus tersebut, 14 kasus ditangani oleh pengadilan tipikor sedangkan 6 di antaranya ditangani oleh pengadilan umum. Keseluruhan kasus yang ditangani oleh pengadilan tipikor divonis bersalah. Dari 14 kasus yang divonis, rata-rata hukumannya 4,32 tahun. Di pengadilan umum, 4 perkara dari total 6 diputus bebas --putusan bebas seluruhnya dikeluarkan oleh pengadilan tinggi-- dua lainnya diputus terbukti korupsi.

Artinya, 2/3 (66,7 %) dari kasus korupsi yang diadili pada pintu pengadilan umum diputus bebas, hanya 1/3 (33,3%) yang divonis bersalah. Membiarkan model penanganan oleh pengadilan umum tertular ke pengadilan tipikor akan berpeluang besar menyandera prestasi pengadilan khusus ini.

Pembentukan Bertahap

Bukan hanya dari Pasal 27, beberapa pasal lain juga menunjukkan potensi tertawannya pengadilan tipikor. Misalnya pembentukan pengadilan tipikor yang berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Pembentukannya dilakukan secara bertahap. Ini menarik. Namun membiarkannya tanpa perintah langsung pembentukan secara bertahap dengan menentukan secara langsung daerah yang ditunjuk pertama kali adalah hal yang keliru. Bayangkan, jika peraturan presiden (perpres) yang akan membentuk pengadilan di suatu daerah belum dikeluarkan, kasus akan disidangkan di mana?

Secara historis, belum pernah ada pembentukan pengadilan di republik ini yang dapat dilakukan serempak di seluruh provinsi. Luasnya wilayah dan ketiadaan sumber daya menjadi alasan utama. Karenanya, sejarah mencatatkan pilihan-pilihan yang telah dilakukan dengan mendirikan secara bertahap. Sebutlah contohnya, UU No 5/1986 tentang PengadilanTata Usaha Negara. Hal yang sama ada dalam setting pengadilan HAM melalui UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Meski akan dicita-citakan dibentuk di seluruh negeri, namun untuk sementara dibentuk di beberapa kota yang kemudian beberapa kota tersebut memegang daerah yurisdiksi sementara untuk beberapa wilayah.

Artinya, meski UU Pengadilan Tipikor telah ada, namun ketika peraturan pendukungnya tidak ada, tetap saja pengadilan tipikor akan tertawan. Efektivitas kerja pengadilan tipikor akan tertawan oleh iktikad baik seorang presiden untuk menerbitkan perpres, misalnya. Hal yang dapat dihindari jika di dalam UU tersebut tertera klausul perihal beberapa daerah pengadilan yang akan menaungi beberapa wilayah tertentu untuk sementara waktu.

Separuh waktu yang telah terlewati ini memang terlalu sumir untuk segera dikatakan sebagai indikasi adanya penyanderaan pengadilan tipikor. Namun, melihat beberapa peluang penyanderaan pengadilan tipikor melalui substansi RUU Pengadilan Tipikor yang disodorkan pemerintah, rasanya skenario sandera-menyandera akan mudah terjadi. Substansi buruk ditambah waktu mepet agenda Pemilu 2009 seharusnya menjadi sinyal yang cukup bahwa pengadilan tipikor akan tersandera. Dan ingat, penyanderaan pengadilan tipikor akan ikut menyandera gerakan pemberantasan korupsi. (*)

Sumber : Seputar Indonesia, 07 Agustus 2008

No comments:

Post a Comment