KPK Buat MoU Antikorupsi dengan Brunei dan Malaysia

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan menandatangani memorandum of understanding (MoU) dengan KPK Brunei Darussalam dan Malaysia dalam rangka realisasi kerja sama pemberantasan korupsi.

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang biasa disebut KPK akan menandatangani memorandum of understanding (MoU) dengan KPK Brunei Darussalam dan Malaysia dalam rangka realisasi kerja sama pemberantasan korupsi.

Ketua Forum 2004 Romli Atmasasmita menjelaskan penandatanganan MoU tersebut sebenarnya sebagai tindak lanjut pertemuan antara KPK se-Asia Pasifik pada Oktober 2004. Pertemuan tersebut merupakan wujud pelaksanaan Konvensi Anti Korupsi Dunia, yang mensyaratkan adanya kerja sama internasional untuk memberantas korupsi.

Dengan adanya kerja sama internasional ini, menurut Romli, akan mempermudah pelacakan keberadaan aliran dana hasil korupsi. Selain itu, kerja sama internasional memungkinkan pelaksanaan asset recovery mechanism (mekanisme pengembalian aset).

"Kerja sama internasional antar-KPK ini akan mempermudah proses penyidikan terhadap kasus korupsi dan kerja sama pengembalian aset negara yang dikorup," jelasnya.

Dua masalah mendasar tersebut sering kali menjadi penghambat upaya-upaya menuntaskan tindak pidana korupsi, terutama bagi Indonesia. Sebab, pengembalian aset yang selama ini menggunakan pihak kejaksaan agung ataupun Interpol sering menghadapi jalan buntu.

"Dalam kesepakatan ini akan memuat pasal-pasal kerja sama intelijen, saling tukar informasi, ataupun bantuan penyidikan untuk bisa memberantas korupsi," ujar Romli.

Hanya saja, dia mengingatkan, secara teknis pelaksanaan nanti upaya pengembalian aset negara yang dikorupsi akan memakan biaya. Sehingga, kemungkinan aset negara hasil korupsi tidak akan kembali penuh.

"Kalau kita meminta bantuan negara lain menarik dana hasil korupsi yang ada di negara itu, maka Konvensi Anti Korupsi membenarkan negara tersebut meminta cost sharing, sebagai biaya penyidikan. Besaran biayanya tergantung diplomasi bilateral antarnegara yang terlibat," jelasnya lagi.

Dia menyebutkan terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk menarik aset hasil korupsi yang sudah dialirkan ke negara lain. Pertama, meminta pengadilan mengklaim dana tertentu sebagai hasil korupsi di Indonesia. Kedua, meminta pengadilan negara yang bersangkutan dan meminta tersangka mengembalikan aset tersebut. Ketiga, meminta pengadilan setempat menyita aset dari tersangka.

Sehingga, sambung Romli, Indonesia tidak bisa serta-merta mengklaim aset tertentu sebagai dana hasil korupsi di Indonesia yang dilarikan ke negara lain. "Kita harus mempunyai dokumen yang sangat kuat, yang membuktikan dana milik seseorang yang berada di suatu negara, adalah hasil pelarian korupsi di Indonesia. Dan, meminta negara tersebut untuk mengembalikannya," ujarnya.

Namun, dia merasa yakin dengan adanya MoU itu antarnegara akan memahami masalah yang mereka hadapi bersama.

Terkait dengan masalah ekstradisi, untuk mengembalikan koruptor yang melarikan aset negara, diakui Romli tidak diatur dalam MoU tersebut. "Ekstradisi harus diatur secara terpisah. Yang penting, dengan adanya kerja sama ini, akan ada exchange information (pertukaran informasi) bahwa ada koruptor yang lari ke negara lain, dengan membawa aset negara, dan kita meminta penyidik setempat mencarinya. Dan, negara yang bersangkutan berkewajiban memberitahukan hasil penyidikannya itu," katanya.

Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamengkas menambahkan rencananya, kerja sama itu akan melibatkan KPK Brunei, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina. "Akan tetapi, baru Brunei dan Malaysia yang menyatakan akan menandatangani, sementara Singapura masih menunggu draf MoU sebelum menentukan sikap," ungkapnya.

Rencananya, penandatanganan MoU tersebut dilaksanakan di Jakarta, antara 13 sampai 15 Desember 2004, yang diisi dengan penyusunan kesepakatan, pelaksanaan simposium mengenai pemberantasan korupsi. Pada 15 Desember, penandatanganan MoU akan dilaksanakan dengan disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"KPK maunya kerja sama se-Asia Pasifik. Akan tetapi, gerakan ini akan kita mulai dari ASEAN dulu. Dan, sementara waktu yang sudah pasti tiga negara dulu," katanya. Kesediaan Singapura untuk bekerja sama dalam hal pemberantasan korupsi ini sangat diharapkan Indonesia. Itu beralasan, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak koruptor Indonesia yang menyimpan hasil korupsinya di negeri Lee Kwan Yew itu.


Sumber: Media Indonesia, 24 November 2004

No comments:

Post a Comment