Bebas dengan Sejumlah Kejanggalan

DENGAN muka masam Busyro Muqoddas meninggalkan Pengadilan Negeri
Tangerang, Banten. Didampingi empat anggota stafnya, Ketua Komisi
Yudisal itu, Jumat pekan lalu, terpaksa kembali ke kantornya dengan
tangan hampa. Upayanya meminta salinan putusan perkara Gayus Holomoan
P. Tambunan gagal.

Sebelumnya, Senin dua pekan lalu, Busyro sudah mengirim surat
permintaan putusan tersebut. Tapi jawaban yang datang: putusan tak
bisa dikirim. Alasan pengadilan, putusan belum ditandatangani Asnun,
ketua majelis yang mengadili kasus tersebut.

Tak puas dengan jawaban itu, Busyro mendatangi Pengadilan Negeri
Tangerang. Ternyata hasilnya sama. Menurut Busyro, berkas putusan baru
bisa diberikan pada Senin pekan ini, setelah Asnun, yang juga menjabat
Ketua Pengadilan Negeri Tangerang, pulang dari umrah.

"Kami melihat ada indikasi kejanggalan dalam putusan itu," kata
Busyro. Tak hanya Komisi Yudisial yang mencium aroma tak sedap dalam
putusan yang membebaskan Gayus, Mahkamah Agung juga mengendus bau yang
sama. Pekan lalu Mahkamah sudah memeriksa dua hakim yang mengadili
kasus ini, Bambang Widiyatmoko dan Hasran Tarigan. Adapun Asnun akan
diperiksa sepulang umrah. "Boleh saja memutus bebas, tapi jangan ada
satu pun penyimpangan," kata Ketua Muda Bidang Pengawasan Mahkamah,
Hatta Ali.

Putusan bebas Gayus membetot perhatian publik, setelah Kamis dua pekan
lalu mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Susno Duadji
menuding kasus ini melibatkan "markus" alias makelar kasus. Susno juga
menuding jaksa dan hakim "bermain mata" dalam perkara rekening lebih
dari Rp 28 miliar itu. Susno menunjuk telak indikasi adanya makelar
kasus itu, yakni Gayus diputus bebas.

Faktor utama yang membuat Ga yus bebas, menurut sumber Tempo—seorang
jaksa yang kerap menangani perkara pencucian uang—adalah lemahnya
dakwaan. Gayus sendiri dijerat dengan dua tuduhan: melakukan pencucian
uang dan penggelapan. Untuk dakwaan pertama, ia dituduh melakukan
money laundering lantaran duit Rp 370 juta di rekeningnya diduga hasil
"pengurusan" pajak PT Megah Jaya Citra Garmindo. Duit itu masuk ke
rekeningnya di BCA dua kali, yakni Rp 170 juta pada 21 September 2007
dan Rp 200 juta pada 15 Agustus 2008. Untuk kejahatan ini, sesuai
dengan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Pencucian Uang, ia diancam hukuman
minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara.

Untuk dakwaan kedua, ia dijerat pasal penggelapan. Tuduhannya,
karyawan Direktorat Jenderal Pajak yang bertugas meneliti keberatan
pajak itu menyimpan duit Rp 370 juta milik PT Megah yang bukan haknya.
Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hukuman untuk mereka yang melakukan
kejahatan seperti ini maksimal empat tahun penjara.

Dakwaan itu, menurut sumber Tempo tersebut, sebenarnya sama-sama
sumir. Tuduhan pencucian uang, misalnya, janggal karena tak disertai
kejahatan pokoknya. "Padahal kejahatan pencucian uangnya tak bisa
berdiri sendiri," kata dia. Dalam dakwaan, ujarnya, jelas disebutkan
Gayus telah menerima duit dari pengurusan pajak PT Megah. Ini,
tuturnya, jelas menunjuk kejahatan pokoknya korupsi. "Tapi ini kenapa
korupsinya hilang," katanya.

Dakwaan kedua tak kurang janggalnya. Menurut dia, pasal penggelapan
lazim digunakan jika ada pengaduan dari pihak yang langsung dirugikan.
Dalam kasus ini, "pengaduan" tersebut datang dari Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). "Kalau begini, hakim akan mudah
mematahkan tuduh an penggelapan ini," katanya.

Sumber Tempo, seorang jaksa yang kini bertugas di luar kejaksaan, juga
menunjuk keganjilan isi dakwaan pencucian uang yang digelayutkan ke
Gayus. Dalam perkara money laundering, ujarnya, dakwaan seharusnya
dibuat kumulatif. Tidak alternatif alias pilihan. "Ini sudah diatur
dalam Surat Edaran Jaksa Agung Tindak Pidana Umum tahun 2004,"
katanya.

Persidangan di pengadilan tak kalah runyamnya. Sejumlah saksi yang
dihadirkan untuk membuktikan adanya pencucian uang ternyata hanyalah
saksi boneka. Ujang Supardi, yang mengaku komisaris PT Megah Jaya
Citra, ternyata statusnya hanya anggotasatpam di perusahaan itu. "Saya
hanya disuruh pimpinan," ujarnya kepada Tempo. Lalu ada pula saksi
Ratih Ratnawati, yang ternyata sejak 2005 tak lagi bekerja di Bagian
Keuangan PT Megah. "Tentu saja dia tidak tahu apaapa karena peristiwa
itu terjadi setelah dua tahun dia keluar," ujar sumber tersebut.

Dengan dakwaan seperti itu, ujar sumber ini, tak aneh bila hakim, pada
12 Maret 2009, memutus bebas Ga yus. Di persidangan hakim menyatakan
tuduhan pencucian uang itu tak bisa dibuktikan. Alasannya, jaksa tak
mampu membuktikan itu duit hasil kejahatan. "Apalagi ini diperkuat
dengan tuntutan jaksa yang hanya menjerat Gayus dengan pasal
penggelapan," ujar seorang sumber Tempo di Pengadilan Negeri
Tangerang. Belakangan, dalam tuntutannya, Nasran Aziz, jaksa penuntut
umum kasus ini, memang merontokkan tuduhan pencucian uang tersebut.

Jaksa sendiri menuntut Gayus hukuman ringan, satu tahun penjara plus
masa percobaan satu tahun. Seorang sumber Tempo yang dekat dengan
Nasran bercerita, kepada dirinya Nasran mengaku tuntutan yang ia buat
sebenarnya sudah berat. Alasannya, alat buktinya jauh dari memadai. Di
persidangan hakim ternyata tak melihat kesalahan yang dilakukan Gayus.
Hakim menilai duit itu sekadar titipan. Dalam putusannya, hakim
memerintahkan duit Rp 370 juta itu dikembalikan ke PT Megah.

Pakar hukum pencucian uang yang juga guru besar pidana Universitas
Trisaksi, Yenti Ganarsih, menilai porsi terbesar kesalahan dalam
perkara Gayus menyangkut isi dakwaan. Kasus ini, ujar Yenti, jelas
bisa dijerat dengan pasal pencucian uang dan korupsi. "Harusnya hakim
juga cermat dalam menangani kasus ini," ujarnya. Nazran sendiri tak
mau disalahkan dengan bebasnya Gayus. Ditemui Tempo di Pengadilan
Negeri Tangerang pekan lalu, ia menyatakan dakwaan dan tuntutan yang
ia bacakan itu yang membuat Kejaksaan Agung. "Saya sih tenang-tenang
saja, yang kebakaran jenggot kan di sana (Kejaksaan Agung)," ujarnya.
Adapun Jaksa Agung Tindak Pidana Umum Kemal Sofyan menegaskan penuntut
sudah bekerja optimal dalam perkara ini. "Kejaksaan akan melakukan
kasasi dengan bebasnya Gayus," ujarnya.

Para hakim yang menangani perkara ini kini menghindar jika dikejar
wartawan. Beberapa kali dicegat di kantornya, Hasran Tarigan hanya
menggelengkan kepala. "Tanya ketua saja," katanya. Adapun Bambang
Widiyatmoko, sejak kasus ini diputus, jarang terlihat di kantornya.
Yang bersuka cita atas putusan itu tentu saja Gayus. "Putusan itu
memenuhi rasa keadilan," ujar Haposan Hutagalung, pengacara Gayus.
Adapun soal dakwaan lemah yang disebut- sebut mempunyai andil besar
membebas kan kliennya, Haposan menjawab pen dek, "Itu urusan penyidik
dan jaksa."

AKHIR April 2009, jaksa Cyrus Sinaga mendatangi Mabes Polri. Menurut
sumber Tempo, Cyrus saat itu mengambil surat pemberitahuan dimulainya
penyidikan kasus Gayus. Bersama tiga jaksa lainnya, Fadil Regan, Ika
safi tri, dan Eka, Cyrus kemudian ditunjuk sebagai jaksa peneliti
perkara ini. Pada medio Oktober silam jaksa mengembalikan berkas Gayus
ke polisi. Jaksa saat itu meminta rekening Ga yus yang berisi duit Rp
370 juta dibekukan. Sebelumnya, polisi sudah memblokir rekening Gayus
di BCA dan Bank Panin yang berisi duit Rp 28 miliar.

Pada 22 Oktober jaksa menyatakan berkas perkara Gayus lengkap dan
kemudian dilimpahkan ke pengadilan. Menurut Direktur Ekonomi Khusus
Bareskrim, Raja Erizman, pihaknya pada 26 November silam membuka
rekening Gayus juga karena petunjuk jaksa. "Rekening itu dinyatakan
tak terkait dengan penyidikan," ujar Raja. Menurut dia, polisi
sebenarnya membidik Gayus dengan tuduhan kumulatif, yakni melakukan
tindak pidana pencucian uang, penyuapan, dan penggelapan. Tapi di
kejaksaan tuduhan korupsi lenyap.

Sumber Tempo lain di kepolisian berbisik ada sejumlah keganjilan lain
dalam penanganan kasus ini di kejaksaan. Dalam dakwaan, jaksa tidak
memasukkan soal duit Rp 25 juta milik konsultan pajak Roberto
Santonius di rekening Gayus. "Padahal, soal duit Roberto itu ada di
berkas pemeriksaan," ujar sumber ini. Cyrus sendiri, yang biasanya
gampang ditemui, kini seperti menghilang.

Di Kejaksaan Agung tak ada, di Semarang, tempat kini ia bertugas, juga
tak ada. Sejak sekitar dua bulan lalu Cyrus memang menjabat Asisten
Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. "Dia masih di Jakarta,"
kata Sunarman, rekan Cyrus di Semarang. Sebelumnya, kepada wartawan,
Cyrus membantah bahwa pihaknya telah "memainkan" perkara Gayus. Dia
juga membantah jika disebut telah memerintahkan pemblokiran rekening
Gayus dibuka.

Kejaksaan pun kini disorot. Jaksa Agung Hendarman Supandji mengakui
ada kejanggalan dalam penanganan perkara Gayus. "Dari baunya ada,"
kata Hendarman. Untuk menelisik sumber "bau" itu, kejaksaan telah
melakukan eksaminasi terhadap jaksa yang menangani kasus Gayus. "Dari
jaksa di Tangerang sampai di sini (Kejaksaan Agung)," ujar Hendarman.
Pekan ini hasil eksaminasi itu bakal diumumkan, dan selanjutnya publik
akan bisa menilai: sejauh mana keseriusan Hendarman mengusut
penyelewengan yang dilakukan anak buahnya.


Anton Aprianto, Rofi udin (Semarang), Ayu Cipta, dan Joniansyah (Tangerang)
http://www.tempointeraktif.com/khusus/selusur/pajak.gayus/page03.php
http://www.tempointeraktif.com/khusus/selusur/pajak.gayus/page04.php

No comments:

Post a Comment