Siaga Satu Jenderal Terlempar

SUSNO Duadji bergegas meninggalkan rumahnya di Puri Cinere, Depok,
Selasa sore pekan lalu. Padahal baru dua jam sebelumnya, jenderal
polisi berbintang tiga itu masuk rumah, untuk diwawancarai Tempo. "Ada
pesan pendek dari anak buah saya di Mabes Polri: saya harus waspada
satu," katanya. Setiap malam, tidurnya berpindah-pindah.

"Saya takut di-Munir-kan," kata Susno, berbisik. Matanya menoleh ke
kiri dan ke kanan. Munir adalah aktivis hak asasi manusia yang tewas
diracun pada 2004. Tak hanya itu. Oleh istrinya, Susno kini dilarang
minum kopi. Sebelum wawancara dimulai, dia sempat berbisik kepada
pelayannya, minta dibuatkan segelas minuman barkafein itu. "Supaya
tidak ngantuk," katanya. Tapi yang datang malah segelas besar teh
hangat. "Kata Ibu tidak boleh," ujar si pembantu.

Susno merengut, tapi kemudian meng akui, "Kesehatan saya memang agak
drop," tuturnya. Wajar kalau Susno susah tidur dan gelisah.
Tudingannya tentang sepak terjang para makelar kasus di Badan Reserse
Kriminal Mabes Polri membuatnya berhadap-hadapan dengan banyak mantan
koleganya. Pekan lalu, dua kali dia diperiksa Divisi Pro fesi dan
Pengamanan, sebelum akhirnya ditetapkan sebagai terperiksa. "Itu sa ma
saja jadi tersangka," katanya, mendengus. "Buktikan dulu omongan saya
tentang kasus ini," kata Susno. "Kalau tidak terbukti, saya akan
sukarela masuk bui." Ketika dipanggil untuk ketiga kalinya akhir pekan
lalu, Susno menolak hadir.

Tindak-tanduk Susno yang menantang membuat panas banyak jenderal.
Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri sempat berkeras tak mau
menindaklanjuti laporan Susno soal dugaan makelar kasus dalam kasus
pencucian uang oleh pegawai Direktorat Pajak, Gayus Tambunan. Bambang
baru melunak setelah Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menemuinya, Kamis pekan lalu.
"Memang ada kejanggalan dalam penyidikan, ada sesuatu," katanya.
Sebuah tim independen lalu dibentuk untuk menelusuri dugaan
kongkalikong itu.

Aroma perseteruan antarperwira berbintang di markas polisi tercium
keras. Banyak yang menduga pemberhentian Susno yang mendadak sebagai
Kepala Badan Reserse Kriminal pada November 2009 adalah pangkalnya.
"Saya tidak kecewa dicopot," kata pria kelahiran Pagar Alam,
Palembang, 56 tahun lalu ini. Dia memang sempat menyepi ke kampung
halaman, sehari setelah dia menerima telegram rahasia
pemberhentiannya. Setelah lima hari di Palembang, Susno kembali ke
Jakarta pada 30 November untuk upacara serahterima jabatan. "Saya
rela," katanya.

Mantan Kepala Polda Jawa Barat ini mengaku baru terusik ketika Mabes
Polri mempersoalkan kehadirannya di persidangan mantan Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Januari lalu. Ketika bersaksi di sana, Susno mengaku tidak
tahumenahu soal penyidikan Antasari. Dia menjelaskan kasus Antasari
dikendalikan langsung oleh Kepala Polri.

Dua pekan kemudian, Susno muncul lagi. Kali ini di Senayan, menjadi
saksi untuk Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat yang tengah
menelisik kasus pengucuran dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank
Century. Di sana Susno lagi-lagi bikin berita. Dia meninggalkan
dokumen yang menyatakan upaya polisi menyelidiki kasus Century
tertunda karena salah satu pejabat yang bakal diperiksa adalah calon
wakil presiden Boediono.

Melihat gelagat Susno mulai "liar", Mabes Polri pun bereaksi. Dia
dipanggil Divisi Profesi dan Pengamanan untuk pertama kalinya, tiga
bulan lalu. "Saat itulah saya mulai marah," kata Susno terus terang.
Wajahnya mengeras. Berkali-kali dia menyebut "saya ini mantan
Kabareskrim" atau "saya ini jenderal bintang tiga" dengan nada geram.
Mabes Polri bukannya tidak berbuat apa pun untuk meredam Susno.
Tatkala insiden kesaksian di sidang Antasari mencuat, Kepala Badan
Intelijen Irjen Saleh Saaf sempat mendatangi kediaman Susno. Campur
tangan Saleh ketika itu bahkan sampai membatalkan upaya Divisi Propam
memeriksa Susno.

Kepala Divisi Humas Irjen Edward Aritonang juga sempat dua kali
menemui Susno. "Tidak saya saja. Ada beberapa kawan yang satu angkatan
dengan Pak Susno," kata Edward pekan lalu. Pertemuan berlangsung dua
pekan lalu di sebuah hotel di kawasan Mahakam, tak jauh dari Mabes
Polri. Di sana para jenderal dan komisaris besar dari angkatan 1977
ini membujuk Susno agar tak bikin ramai di luar institusi. "Kami
sama-sama setuju mereformasi polisi, tapi panggungnya di dalam saja,"
kata Edward. Susno saat itu tak banyak bicara. "Dia hanya bilang akan
mempertimbangkan masukan kami," kata Edward.

Tapi tampaknya Susno tak peduli. Kepada Tempo, dengan tersirat dia
mengaku perlawanannya dirancang matang. "Saya sudah menghitung semua
risikonya," katanya. Selain menerbitkan buku, Susno mempersiapkan
"senjata" lain: dokumen. Sejumlah sumber Tempo di kepolisian
mengatakan Susno pernah minta dibelikan tiga brankas besar, sesaat
sebelum dicopot dari kursi Kepala Badan Reserse. Susno tak menyangkal
cerita itu. "Saya pakai untuk menyimpan berkas tentang sejumlah kasus
lain di kepolisian," katanya. Kasus apa? Susno bungkam. Dia hanya
sesumbar, "peluru" itu baru akan dipakai jika dia terpojok.

"Atau kalau terjadi apa-apa pada saya," kata Susno serius. Seteru
Susno di Mabes Polri tak percaya pada ancaman itu. "Saya kok tidak
yakin ada brankas isinya dokumen. Boleh tidak kita lihat sama-sama?"
kata Direktur Ekonomi Khusus Bareskrim Brigjen Raja Erizman dengan
sinis. Pekan lalu bahkan beredar berkas "dosa-dosa Susno" di
Trujonoyo, markas besar polisi. Isinya macam-macam dugaan "permainan"
Susno ketika masih berjaya.

Misalnya soal kepemilikan rumahnya yang sampai 16 buah, kasus-kasus
korupsi yang disetop penyidikannya selama dia menjabat Kabareskrim,
sampai tudingan dia "memelihara" makelar kasus sendiri. "Ada transfer
uang dari si makelar langsung ke rekening Susno," kata sumber Tempo.
Keterlibatan Susno dalam kriminali sasi dua pemimpin Komi si
Pemberantasan Korupsi akhir tahun lalu juga diungkit. Kedekatannya
dengan Anggodo Widjojo, yang kini tersangka kasus penyuapan di KPK,
misalnya, dibuka lagi. Dia bahkan dituduh merekayasa teror kepada
dirinya sendiri.

Dimintai konfi rmasi, Susno sudah punya jawaban. "Saya punya banyak
rumah, karena saya jual-beli properti," katanya. Dia mengaku
mengembangkan bisnis macam-macam sejak "sebelum ja di polisi". Soal
makelar kasus, dia pa sang badan. "Namanama yang disebut itu kawan
saya sejak letkol, tapi mereka tidak pernah bawa kasus. Silakan
diperiksa," katanya. Soal rekayasa pesan pendek berisi ancaman? "Kalau
mereka yakin saya bersalah, ayo tangkap saja."
Gebrakan Susno menantang pimpin an Polri membuat sebagian orang curiga
pada motifnya. Buku Mereka Menuduh Saya, yang dipromosikan Susno ke
mana-mana, misalnya, jelas-jelas berisi ha rapan agar mantan Wakil
Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan itu
direhabilitasi dan diangkat menjadi Kapolri atau bahkan Ketua Ko misi
Pemberantasan Korupsi.

Bak gayung bersambut, sejumlah anggota DPR mulai berkoar mengirim
sinyal serupa. Kursi Ketua KPK saat ini memang kosong sepeninggal
Tumpak Hatorangan Panggabean yang mengundurkan diri. Kalau tidak
diperpanjang Presiden, Jenderal Bambang Hendarso pun akan pensiun
akhir 2010 ini. "Saya tahu diri. Masak orang yang tidak dipakai di
polisi mau memimpin KPK?" Susno membantah. Ketua Komisi Hukum DPR
Benny Harman menguatkan. "Penca lonan pimpinan KPK itu otoritas
pemerintah, tidak bisa dicampuri parlemen."


Wahyu Dhyatmika, Sutarto
http://www.tempointeraktif.com/khusus/selusur/pajak.gayus/page05.php
http://www.tempointeraktif.com/khusus/selusur/pajak.gayus/page06.php

No comments:

Post a Comment