Setelah Senandung Dinyanyikan

Bergaji Rp 7 juta per bulan, kekayaan Kemas Yahya terhitung luar biasa. Kariernya berakhir karena kasus Urip.

DI taman Hotel Sheraton Bandar Lampung, September tahun lalu, suara duet Kemas Yahya Rahman dan Yulisa, istrinya, disambut meriah. Senandung Ribu lah Ribu, tembang asal Lahat, Sumatera Selatan, favorit Kemas, dinyanyikan pasangan itu dengan girang. Ketika melantunkan bait malam la ini kite berkumpul, malam la luse bercerai jauh, sekitar 500 hadirin serentak berdiri, ikut berdendang.

Itulah rangkaian acara syukuran Kemas setelah diangkat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Kemas menggantikan Hendarman Supandji, yang ”naik kelas” jadi Jaksa Agung pada 10 Mei 2007.

Selain menyewa arena taman, di hotel bintang lima itu Kemas memborong tujuh kamar untuk para tamunya yang datang dari Jakarta dan Palembang. Sejumlah artis Ibu Kota dihadirkan. ”Aku datang bersama Dewi Yull dan Vina Panduwinata,” kata Nia Daniaty, artis yang terkenal dengan lagu Gelas-gelas Kaca.

Menurut Nia Hernawati, Asisten Manajer Hotel Sheraton, untuk pesta di taman seperti itu harganya Rp 70 juta. Kalau ditambah dengan sewa tujuh kamar dan pesta kecil lainnya, sekitar Rp 100 juta. ”Booking hotel dan pestanya atas nama Pak Kemas Yahya,” ujarnya.

Seorang jaksa dari kantor Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang ikut hadir mengungkapkan, selain ada pejabat, pesta malam hari itu dihadiri para pengusaha. ”Di antaranya Ibu Ayin (Artalyta Suryani),” ujarnya. Artalyta adalah orang yang disangka menyuap jaksa Urip Tri Gunawan terkait dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Bersama Direktur Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Muhammad Salim, Kemas diduga terkait dengan kasus tersebut.

”Ia datang bersama beberapa pengusaha dari berbagai kota.” Menurut dia, pagi sebelumnya Kemas sudah lebih dulu menggelar pesta kecil-kecilan untuk kalangan keluarga di rumah pribadinya di Jalan R. Imba Kusuma 24, Bandar Lampung. ”Tapi tamu yang datang banyak, ada bupati, pengusaha, dan petinggi kejaksaan,” kata sumber itu.

Pada Juli 2007, Kemas sudah pula menggelar syukuran di kota kelahirannya, Palembang. Tamunya melimpah. Ada Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin; Bupati Musi Banyuasin Alex Noerdin; Bupati Muaraenim Kalamuddin; Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra; dan Irawady Joenoes, anggota Komisi Yudisial, yang kini dihukum delapan tahun penjara karena kasus suap.

Di rumah seluas 200 meter persegi di Jalan K.H.M. Asik 72, Kelurahan Satu Ulu, Palembang, itulah Kemas dilahirkan 59 tahun silam. Menurut Ketua Kerukunan Keluarga Palembang Roni Hanan, kesuksesan Kemas hingga menduduki jabatan tinggi di Kejaksaan Agung membuat bangga warga Palembang. ”Setiap naik jabatan, wong Palembang selalu pulang untuk syukuran,” kata Roni, yang mengaku teman akrab Kemas sejak mereka masih remaja.

Kemas juga rajin memenuhi undangan pesta atawa hajatan kenalannya. Seusai syukuran di rumahnya di Palembang, ia datang ke pesta khitanan anak Haji Halim Abdul Ali, pengusaha kondang di Sumatera Selatan. Pesta ini diabadikan dalam advertorial setengah halaman di surat kabar Sriwijaya Post edisi 1 Agustus 2007.

Iklan yang menggambarkan kemeriahan pesta itu dimuat di halaman 23 koran tersebut. Terpampang foto Kemas Yahya dan Yulisa bersama Haji Halim, Panglima Kodam Sriwijaya Mayor Jenderal Syarifuddin Tippe, serta Gubernur Sumatera Selatan Syahrial Oesman. ”Tarif iklannya Rp 4 juta,” kata Bastian, dari bagian iklan surat kabar itu.


BISA jadi, karena koleganya teramat banyak, Kemas memang harus menyewa tempat luas untuk hajatan yang digelarnya. Kala menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi, Kemas menyewa auditorium gedung Manggala Wana Bhakti untuk menggelar pesta pernikahan putranya, Agus Setiadi, 23 September 2006.

Tak hanya tamu dari Jakarta, Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin dan sejumlah bupati Jambi terbang ke Jakarta khusus memenuhi undangan Kemas. ”Pak Gubernur juga berfoto bersama mempelai di pelaminan,” kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jambi Zurman Manap, yang juga datang ke pesta itu. ”Sebagian anggota Dewan hadir.”

Untuk keluarga dekat Kemas dari Lampung, menurut sumber Tempo, saat itu Kemas menyediakan tiga bus untuk datang ke Jakarta. Oleh Yulisa, istri Kemas, kerabatnya itu sempat dibawa ke rumah mereka di kompleks Banjar Wijaya, Tangerang. ”Saat pamit pulang, semua dikasih sangu masing-masing Rp 50 ribu,” kata seorang kerabat Kemas.

Yulisa, yang lahir di Palembang 50 tahun silam, bangga dengan bentuk desain rumahnya yang menyerupai gedung pengadilan. Rumah itu memiliki empat pilar besar, setinggi enam sampai tujuh meter. Pilar itu dihiasi ukiran bergaya Romawi.

Di salah satu tiang tertempel stiker lambang kejaksaan lengkap dengan motonya: ”Nurani nan suci, nurani antikorupsi”. Di bagian depan rumah itu terpasang empat kamera CCTV, yang siap merekam siapa yang berada di dekat-dekat situ.

Halamannya penuh dengan bunga. Ada anggrek dan adenium. Satu pot besar yang penuh bunga anturium alias gelombang cinta diletakkan di sisi pintu utama. Sepasang guci gajah hijau ditaruh tak jauh dari pintu ini. Di dekatnya terlihat ayunan dan kursi putar.

Kamis pekan lalu Tempo mencoba menemui Kemas di rumah itu untuk wawancara. Tapi yang dicari tak ada. ”Sudah seminggu Bapak tidak pulang,” kata seorang petugas satuan pengamanan yang berada di rumah tersebut. ”Saya tidak tahu ke mana perginya.”

Sebagai jaksa agung muda dengan gaji sekitar Rp 7 juta per bulan, kehidupan Kemas terhitung makmur. Rumah Kemas di Banjar Wijaya itu, misalnya, nilainya lebih dari Rp 1 miliar. ”Pernah ditawar Rp 1,2 miliar, tapi tak dilepas,” ujar sumber Tempo. Di Tangerang, Kemas juga memiliki rumah lain di Jalan Pertiwi, Cimone.

Dalam daftar kekayaan Kemas yang disetorkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2001 tertulis total harta Kemas Rp 602 juta. Harta itu berupa rumah dan tanah yang sebagian besar di Lampung. Adapun hartanya yang lain, yakni rumah di Palembang, mobil mewah, dan sebuah penginapan di Lampung, belum tercatat.

Dihubungi melalui telepon, Kemas berterus terang belum mencantumkan rumah besarnya di Banjar Wijaya ke KPK. ”Saya belum sempat mendaftarkan,” katanya kepada Yogha Erlangga dari Tempo.

Ihwal mobilnya, Toyota Alphard, yang menurut sumber Tempo merupakan hadiah dari seorang pengusaha, Kemas tak berkomentar. Kabarnya Alphard ini kesayangan istri Kemas. Berwarna hitam, pelat nomornya L-1-ZA–jika dilafalkan menjadi ”Lisa”, nama istri Kemas. Kemas meminta Tempo tak mengungkit-ungkit ”daftar kekayaan”-nya itu. ”Tolong jangan perkeruh suasana,” katanya.


Kemas Yahya dikenal sebagai pribadi yang luwes. Kelebihannya ini yang membuat ia, saat menjadi Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, dekat dengan wartawan. Saat menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi, dia dikenal akrab dengan Gubernur Zulkifli Nurdin. Sejumlah aktivis korupsi di Jambi menduga kemesraan inilah yang mengakibatkan kasus korupsi yang berkaitan dengan pejabat Jambi tak terungkap tuntas. ”Kalau menyangkut pejabat memang mandul,” ujar Soewarno Surinta, Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi.

Ia mencontohkan kasus pembangun-an arena rekreasi waterboom, yang melibatkan Zulkifli, Gubernur Jambi. ”Proyek gagal” senilai Rp 6,5 miliar yang didanai anggaran daerah ini hanya menjerat Sudiro Lesmana, kontraktor proyek. Dua tahun lalu pengadilan sudah memvonis Sudiro tiga tahun penjara.

Adapun Zulkifli Nurdin tak tersentuh kejaksaan. Pejabat seperti Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Jambi Chalik Saleh dan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Jambi Samawi Darihim memang diajukan ke pengadilan. Tapi hakim kemudian menyatakan mereka bersih.

Sejumlah perkara lainnya yang gagal dituntaskan Kemas di Jambi adalah pembangunan gedung sekolah luar biasa, rehabilitasi gedung Gubernur Jambi, gedung DPRD Jambi, pengadaan mesin daur ulang aspal, dan jembatan Batanghari II. ”Semua proyek itu bermasalah,” kata Soewarno.

Sehari setelah dicopot dari jabatan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kemas tak masuk kantor. Ia mengambil cuti selama dua pekan. Ada kemungkinan Kemas kelak akan berkantor di lantai enam gedung utama kejaksaan. Di tempat ini, ia akan berkumpul dengan sejumlah jaksa senior. Sambil menunggu pensiun, mereka akan diberi label ”jaksa fungsional”.

Elik Susanto, Nurrochman (Bandar Lampung), Arief Ardiansyah (Palembang), Syaiful Bakhori (Jambi)

Sumber: Tempo Interaktif, 23 Maret 2008

No comments:

Post a Comment