Akhir Bengkel Suap Ayin dan Urip

JAKSA Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Artalyta hukuman lima tahun penjara. Tak ada hal yang meringankan dari perempuan yang dikenal memiliki banyak kawan di Kejaksaan dan Mahkamah Agung itu.

Di sidang muncul proposal jaksa Urip Tri Gunawan tentang pengajuan bisnis bengkelnya untuk Artalyta, lengkap dengan daftar barang yang dibutuhkan dan harganya. Jaksa menganggap itu tameng belaka.

PETUGAS penjemput tahan­-an dengan bergegas menyampaikan surat kepada jaksa penuntut umum. Surat itu berkop Otto Cornelis Kaligis & Associates. Isinya dua lembar kertas. Selembar berisi keterangan ­sakit Artalyta Suryani dan lainnya pengantar O.C. Kaligis, pengacara Artalyta. Semuanya ditujukan kepada majelis hakim.

Kamis pekan lalu, perempuan yang top dengan nama Ayin itu seharusnya tampil di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ia dijadwalkan sebagai saksi di sidang Urip Tri Gunawan, jaksa yang diduga menerima suap Rp 6 miliar dari dirinya. Tapi, seperti tertera dalam surat keterangan dokter Hadi­djaja Kulana dari Pusat Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian yang dibawa petugas penjemput tahanan, Artalyta tak bisa hadir. Menurut dokter, ia menderita gastroenteritis atau sakit lambung dan vertigo. Perempuan 45 tahun itu perlu istirahat dua hari.

Padahal pada Senin pekan lalu Artalyta masih terlihat sehat ­walafiat. Terdakwa penyuap jaksa Urip Tri Gunawan itu tetap tampil modis dengan riasan wajah dan tatanan rambut sangat rapi. Hari itu jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntutnya hukuman 5 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta.

Ini hukuman maksimal bagi pelanggar Pasal 5 ayat 1-b Undang-Undang Antikorupsi. Menurut jaksa, Artalyta jelas telah melakukan pelanggaran terhadap pasal yang mengatur soal penyuapan terhadap pegawai negeri sipil itu. Jaksa menilai tak ada hal yang meringankan dari ibu dua anak ini. Artalyta, kata jaksa, sebaliknya, memberikan keterangan yang berbelit-belit. Seusai tuntutan itu dibacakan, Artalyta sempat tertegun. Berbeda dengan persidangan sebelumnya, ia tak banyak melemparkan senyum saat berhadapan dengan kamera wartawan.


INI memang babak akhir persidang­an ”ratu lobi dari Lampung” tersebut. Pengusaha ini ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, Ahad, 2 Maret 2008, beberapa saat setelah memberikan uang Rp 6 miliar kepada jaksa Urip Tri Gunawan. Sebelum menangkap Artalyta, Komisi terlebih dulu membekuk Urip. Drama penangkapan Koordinator Tim Penyelidikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tersebut terjadi di depan kediaman Artalyta di Jalan Terus­an Hang Lekir Blok WG-9, Jakarta Selatan. Pemberian uang itu diduga terkait dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia, yang dua hari sebelumnya dinyatakan tak bersalah oleh Kejaksaan Agung.

Tapi di persidangan Artalyta menegaskan uang Rp 6 miliar adalah pinjaman modal usaha kepada Urip. Tak sekadar ngomong, bukti proposal pinjaman Urip kepada Artalyta dan kuitansi tanda serah-terima uang Rp 6 miliar juga dimunculkan di persidangan dua pekan lalu. Proposal dan kuitansi itu diserahkan Kaligis kepada majelis hakim yang diketuai Teguh Harianto.

Soal pinjaman duit versi Artalyta itu memang terkesan simpang-siur. Sumber Tempo mengatakan, pada pemeriksaan awal di Komisi, Artalyta mengatakan uang itu untuk membantu kelahiran anak Urip. Belakangan berubah lagi menjadi pinjaman bisnis permata. ”Lalu katanya untuk bisnis perbengkelan,” ujar sumber ini.

Salinan kuitansi bertanggal 2 Maret 2008 yang diterima Tempo menyebutkan Urip menerima uang Rp 6 miliar/US$ 660 ribu dari Ibu Suryani—demikian Urip biasa memanggil Artalyta. ­Pin­jaman itu untuk pembayaran pinjam­an modal usaha. Di bawahnya tertera tanda tangan Urip dan meterai Rp 6.000.

Adapun dalam fotokopi ­proposal Urip yang didapat Tempo tercatat Urip mengajukan permohonan kepada Artalyta pada 15 November 2007. Isinya tentang biaya pembuatan bengkel dan tempat cuci mobil, dengan biaya Rp 9,5 miliar, terdiri atas biaya bangunan di atas tanah seluas 3.860 meter persegi Rp 6,4 miliar dan peralatan, seperti­ ­single port, spooring, balancing, dan fire charge, Rp 3,1 miliar.

Menurut pengacara Urip, J. ­Arbab Setiawan, bisnis bengkel sang jaksa itu rencananya dibuka di Cikampek. Ia menjelaskan kesepakatan meminjam modal tersebut baru terealisasi pada 2 Maret 2008. ”Proposal disampaikan dengan harapan untuk bekerja sama,” kata Arbab.

Menurut dia, Artalyta tidak setuju dengan bisnis bengkel dan menawarkan bisnis permata saja. Namun Urip menolak. Alasan Urip, ia belum berpe­ngalaman berbisnis batu mulia. Bisnis perbengkelan pun dipilih karena Urip memiliki teman dekat yang berpe­ngalaman di bidang itu. Tapi soal teman dan perbengkelan ini memang sampai di situ saja. Selanjutnya, siapa teman dan di mana calon lokasi bengkel Urip itu tak jelas. Menurut Kaligis, Artalyta cuma kasih duit sekali dan ada kuitansinya. Ia menyesalkan pernyataan kliennya, Artalyta, sudah pernah memberikan Rp 100 juta kepada Urip.

Urusan bengkel-membengkel ini tak dipercaya penyidik dan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Jaksa yakin itu tameng belaka. Saat diperiksa Artalyta tidak memberikan keterangan ­adanya proposal pinjam­an. Proposal itu baru ”menggelinding” di persidangan.

Zet Tadung Allo, jaksa ­Komisi lainnya, menyatakan, dari hasil penya­dapan rekaman yang dilakukan Komisi, tidak ada pembicaraan pinjaman untuk bisnis antara Artalyta dan Urip. Yang ada, menurut dia, kata-kata ”tanda terima kasih” dan ”minta bonus”.

Juru bicara Kejaksaan Agung, B.D. Nainggolan, mengaku tidak tahu persoalan bisnis yang dilakukan Urip. Menurut dia, jaksa yang bergolongan III-A ke atas, jika ingin membuka usaha, harus meminta izin dari atasannya. Pangkat Urip sendiri sudah eselon III. Dan Urip, kata dia, belum pernah meminta izin atasannya untuk nyambi berbisnis atau membuka usaha.

Vonis hukuman untuk Artalyta sudah di depan mata. Menurut sumber Tempo, dengan bukti-bukti yang disodorkan jaksa, termasuk sejumlah petunjuk rekaman telepon antara dirinya dan Urip, sulit bagi Artalyta untuk lolos dari jerat Pasal 5 Undang-Undang Antikorupsi itu. Menurut sumber Tempo, sudah terang benderang Artalyta melakukan penyuapan.

Hanya, soal tuntutan itu dianggap kurang pas. Menurut Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana, hukuman lima tahun untuk Artalyta terlalu ringan. seharusnya bisa dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Antikorupsi, yakni dakwaan perbuatan memperkaya orang lain, yang hukumannya seumur hidup atau 20 tahun penjara. ”Dia pantas dihukum seumur hidup,” ujar Denny. (Martha W. Silaban, Munawwaroh)

Sumber: Tempo Interaktif, 28 Juni 2008

No comments:

Post a Comment