KPK Usut Peran Aparat -Tunggakan Royalti Batubara

Komisi Pemberantasan Korupsi memastikan akan mengkaji dugaan adanya keterlibatan aparat negara dalam kasus tunggakan royalti oleh enam perusahaan batu bara generasi pertama senilai Rp 7 triliun.
Wakil Ketua KPK M. Jasin mengatakan lembaganya akan berfokus pada soal apakah tunggakan pembayaran royalti itu membuat negara rugi. "Selanjutnya, apakah itu melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara," ujarnya kemarin.

Menurut Jasin, untuk mengetahui siapa yang terlibat dalam kasus tersebut, pintu masuknya adalah penyelenggara negara. Sebab, berdasarkan undang-undang, KPK tidak dibolehkan langsung mengusut dugaan korupsi ke pihak swasta.
Enam perusahaan batu bara yang masuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara generasi pertama diketahui masih menunggak royalti periode 2001-2005 senilai Rp 3,8 triliun. Keenam perusahaan itu adalah PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, PT Adaro Indonesia, dan PT BHP Kendilo Coal.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan juga menemukan tunggakan baru sebesar Rp 3,2 triliun untuk periode 2005-2007, sehingga total tunggakan mereka pada 2001 hingga 2007 sebesar Rp 7 triliun.
Dalam pengusutan ke penyelenggara negara, menurut Jasin, KPK akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak. Dalam aturan itu ditetapkan bahwa penagihan dilakukan pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. "Tapi kenapa tidak dipungut? Pasti ada sesuatunya," ujar Jasin.
Dia melanjutkan, saat ini KPK masih dalam proses penelitian kasus dan pengumpulan dokumen serta keterangan. KPK juga tengah menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. "Dengan Departemen Keuangan, kami terus berkoordinasi," kata Jasin.
Pakar hukum Romli Atmasasmita mengatakan, dilihat dari hukum perdata, Departemen Energi telah melalaikan kewajibannya untuk melakukan pungutan. "Sesuai dengan aturan tersebut, dana royalti harus masuk kas negara satu hari sejak diterima," katanya.
Sedangkan enam perusahaan yang menunggak pembayaran royalti dianggap sengaja tidak membayar royalti, yang merupakan kewajiban berdasarkan kontrak yang ditandatangani dengan Departemen Energi. "Itu merupakan pelanggaran hukum perdata," ujarnya.
Dari sisi pidana, kata Romli, mereka juga melanggar karena telah sengaja melalaikan kewajiban yang menyebabkan negara rugi.
Direktur Kekayaan Negara Lain-lain Departemen Keuangan Supomo menyatakan tunggakan royalti itu berdampak langsung terhadap penerimaan negara yang sangat dibutuhkan untuk membiayai pembangunan

Sumber: Koran Tempo, 12 September 2008

No comments:

Post a Comment