Uang Aman Pemimpin Lapangan (2)

Situasi terkendali ketika beberapa orang dari manajemen PSM, termasuk Ilham, mengimbau para suporter agar mundur dan meninggalkan lapangan. Laga di Stadion Mattoanging, Makassar, itu disudahi tujuh menit sebelum waktu pertandingan Liga Super Indonesia tersebut habis. Hasilnya 1-0 untuk Semen Padang FC.

PSM Makassar melayangkan nota protes ke Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Dalam surat tersebut dicantumkan pula pernyataan Deny Marcel, kiper Makassar, yang mendengar bahwa wasit Aeng Suarlan mengatakan kariernya akan tamat jika memberikan hadiah penalti buat PSM.

Dihubungi Selasa dua pekan lalu, Aeng membantah menerima uang di balik keputusan kontroversialnya, apalagi diminta mengatur skor. "Saya memimpin sudah betul, semaksimal mungkin," kata Aeng. Menurut dia, saat itu bola yang menyentuh tangan pemain, bukan sebaliknya.

Mantan Manajer Persatuan Sepak Bola Jakarta Utara Harry Ruswanto mengatakan klub yang haus kemenangan akan melakukan banyak cara, termasuk membayar wasit atau pemain. Ini dimungkinkan karena celah itu terbuka. "Kelas hotel dinaikkan jadi hotel berbintang, kasih uang saku, ajak karaoke, atau dugem bagi yang suka," kata pria yang akrab disapa Gendar ini. Pelayanan tak berhenti di situ. Seusai laga, para pemimpin pertandingan itu tak lupa disodori buah tangan.

Wasit senior PSSI, Jimmy Napitupulu, tak menampik bahwa wasit sering mendapat hadiah dari tim tuan rumah. Tak hanya memperoleh perlakuan manis, wasit kerap mendapat tekanan dan ancaman. Sebelum bertanding, biasanya pengurus atau pemilik klub minta tolong agar wasit melakukan berbagai hal. Kalau klubnya menang, si wasit pun dikasih oleh-oleh.

Jimmy, yang pernah lolos seleksi wasit elite Asia, menilai jumlah wasit berkualitas bagus di Indonesia memang begitu minim. Kata dia, ini bermula dari cara perekrutan yang salah. Misalnya, calon wasit sekarang sering memalsukan umur agar lolos seleksi. Proses seleksi saat ini juga diduitin. Untuk ikut kursus saja, bayar Rp 7 juta. Kalau tidak lulus tapi mampu membayar, tetap diterima. "Berbeda dengan zaman saya. Waktu itu tak ada pungutan untuk jadi wasit nasional," katanya.

DI akhir jamuan makan malam lezat di restoran Cafe Boy, Jalan Sudirman, Palangkaraya, pejabat pusat PSSI itu berulang kali meyakinkan pengurus Persepar bahwa dia mampu mengawal tim itu sukses berlaga di Divisi I. Menurut dia, jaringannya di PSSI adalah jaminan kesuksesan. "Dia bahkan mengaku mampu mengkoordinasi wasit," ujar Sigit.

Esok harinya, Sigit dan seorang manajer Persepar berangkat ke Hotel Aquarius di Jalan Imam Bonjol. Sesuai dengan kesepakatan sehari sebelumnya, sebuah tas kecil hitam berisi uang tunai Rp 100 juta sudah disiapkan. Sementara Sigit menunggu di mobil, si manajer membawa tas tersebut dan menyerahkannya kepada sang pejabat PSSI. Menurut Sigit, uang itu merupakan pemberian kesekian kalinya. Itulah upeti Persepar agar mereka tak dipecundangi selama bertanding.

Seorang mantan pengurus pusat PSSI menengarai pria yang dimaksud Sigit adalah Subardi. Selain menjadi anggota Komite Eksekutif PSSI, pria asal Yogyakarta ini mengetuai Komite Kompetisi. Menurut sumber itu, para anggota Komite Eksekutif memang mempunyai "klub-klub binaan". Selain Persepar Palangkaraya, sejumlah klub di Jawa Tengah dibina Subardi.

Seorang pengurus klub di Jakarta menunjuk orang lain, Eko Soebekti, "bapak asuh" satu klub sepak bola yang disegani di Tanah Air. Para manajer tim Liga Indonesia mengenalnya sebagai orang yang punya lobi kuat mengatur wasit. Meski bukan pengurus PSSI, Eko punya jaringan kuat di organisasi itu. Sejak 2004, pria yang biasa disapa "Mbah Eko" ini lebih sering menangani klub di divisi satu dan dua. Tarifnya sekitar Rp 20 juta untuk satu paket pertandingan.

Ditemui Rabu pekan lalu di Apartemen Permata Senayan, Subardi membantah semua tudingan. Ia mengaku tak pernah "mengawal" Persepar Palangkaraya di Liga Indonesia. Menurut dia, tuduhan itu hanya ekspresi kekesalan tim yang kalah. Ia juga membantah menerima ratusan juta rupiah dari pengurus Persepar. "Ini pembunuhan karakter."

Setali tiga uang, Eko Soebekti menangkis tuduhan tadi. Ia mengaku tak tahu-menahu soal jejaring wasit, apalagi mengatur pemimpin lapangan itu menentukan skor permainan. Tarif puluhan juta sebagai jasa makelar pertandingan dianggapnya mengada-ada. "Saya ini agen pemain, tidak tahu soal itu," kata Eko.






Sumber:

No comments:

Post a Comment